Langsung ke konten utama

Takdir, Antara Putus Asa dan Sombong


Perbincangan takdir masih jadi perdebatan bagi kalangan masyarakat. Dilema dalam memaknai takdir terkurung pada dua sikap, antara putus asa dan sombong. Meski berulang kali ustad mengingatkan bahwa takdir menguji manusia untuk berusaha dan tunduk sekaligus. Tetap sulit bagi sebagian orang untuk menerima andai sebuah peristiwa menimpa.

Ada kalanya manusia merasa tidak perlu mengusahakan, karena akhirnya takdir yang berbicara. Pasrah dengan keadaan, menerima kenyataan, menikmati hidup yang apa adanya. Sedangkan Allah SWT meminta manusia terus bergerak dan berjuang menemukan jalan keluar. Fenomena putus asa yang tunduk pada takdir, padahal sejatinya sedang menantang takdir.

Ada juga sebagian yang merasa capaiannya adalah hasil usahanya sendiri. Capaiannya sampai hari ini dianggap sebagai perolehan dari kumpulan langkahnya di dunia. Padahal Allah SWT sudah tegaskan segala keputusan sebelum kita dilahirkan. Kesombongan manusia atas cipta karyanya di dunia merupakan bentuk pembangkangan kepada takdir.

Manusia dihadapkan pada dualitas yang tanpa dirasa kita sering mengalaminya. Sesekali kita terjerumus pasrah, tak jarang juga kita merasa aktor utama dari segudang keberhasilan. Takdir bukan alasan untuk menyerah pada keputusasaan, tetapi juga bukan alasan untuk menjadi sombong dan merasa tak terkalahkan.

Manusia di dunia ibarat nakhoda kapal yang berjuang sampai ke daratan. Penting bagi kita sekuat tenaga mengarahkan kapal, menentukan rute, memahami kompas agar sampai tujuan. Nyatanya perjalanan tidak semulus harapan, kadang ada badai melanda, cuaca ekstrim di luar kuasa manusia dan perubahan arah angin. Sebagai nakhoda yang bijaksana menyerah bukan pilihan, seluruh kru menantikan keputusan untuk sama-sama berjuang.

Saat kapal berhasil melalui badai dan cuaca ekstrim untuk sampai daratan, semua penumpang bersorak sorai. Nakhoda tidak sepatutnya berbangga atas keberhasilannya, sebab ada alam yang mendukung dan takdir yang sudah ditentukan. Kehebatan nakhoda terbukti saat melakukan usaha terbaik menyelamatkan kapal, namun tetap rendah hati karena tidak segala hal dalam kendali manusia.

Putus asa dan sombong dua sisi yang berjauhan, tapi sejatinya berasal dari sumber yang sama. Sedangkan manusia harus berada di antaranya, menikmati setiap langkah perjuangan dan mengakui bahwa ada kekuatan lebih besar yang menentukan akhir hidup ini. Life must go on, teruslah melangkah tanpa rasa takut karena ada takdir yang ditentukan, dan berikan kadar yang tepat pada setiap perjuangan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yahya Sinwar dan Naluri Kepahlawanan Ja’far bin Abi Thalib

  Ja’far bin Abi Thalib turun ke medan perang dengan keberanian, meski ada pesan tak biasa dari Nabi Muhammad bagi pasukan Mu’tah. Zaid bin Haritsah wafat, Ja’far langsung mengamankan panji Islam, tanda Islam tidak tunduk pada banyaknya pasukan Romawi. Tangan kanannya terputus, Ja’far hanya peduli pada panji Islam agar terus berkibar. Kibaran panji Islam bukan soal simbol belaka, ada kobaran semangat yang akan mendorong tiga ribu umat Islam yang berjibaku. Giliran tangan kiri Ja’far yang ditebas, sisa tangannya bersusah payah menarik kembali panji Islam agar tetap berkibar. Ja’far wafat dalam kondisi yang mengenaskan, panji dilanjutkan oleh Ibnu Rawahah dan berujung kematian juga untu dirinya. Khalid bin Walid hadir memberi angina segar dan mampu mengusir ratusan ribu pasukan romawi dari Mu’tah. Ja’far merupakan sahabat yang memiliki kapasitas kelas kakap, kemampuan bernegosiasi di hadapan Raja Najasyi berhasil mengamankan puluhan umat Islam di Ethiopia. Saat berduel dengan ped...

Jaminan Dewasa bukan Usia

Masalah dewasa selalu menjadi persoalan di tengah kebingungan orang menentukan standar apa yang harus dipahami. Soal standar dewasa ini memang sangat relatif. Sulit mencari sudut pandang yang objektif, sebab ukuran dewasa seseorang sangat banyak pertimbangannya. Melihat dari sudut satu tidak menutup perbedaan yang terbentang dari sudut pandang satunya. Belum lagi dilihat dari banyak ilmu yang berbicara tentang seperti apa dewasa sebenarnya. Bahkan saat kita mengatakan “masyarakat indonesia belum terlalu dewasa menyikapi masalah” , justru pernyataan itu akan berbalik. Dewasa kah orang yang mengatakan masyarakat belum dewasa? Dalam mata hukum misalnya, secara umum  batas usia seorang dewasa adalah 21 tahun. Tapi dalam undang-undang lainnya menentukan batas usia yang berbeda dalam memandang kedewasaan. Menurut sebagian ahli menyebut batas awal dewasa adalah usia 18 tahun. Sedangkan hukum Islam menyebut seorang baligh adalah dengan ihtilam, tumbuhnya rambut kemaluan dan usia t...

Perempuan Menutup Aurat atau Lelaki Menahan Nafsu?

Polemik patriarki selalu jadi tema pembahasan para feminism. Ada sudut pandang lain yang menurut mereka lelaki terlalu spesial dari perempuan.  Salah satunya soal perintah perempuan harus menutup aurat, lalu dihubungkan dengan soal tindakan kriminal, pemerkosaan dan menjaga kehormatan. Feminism melihat bukan soal perempuan yang harus menutup aurat, tapi lelakilah yang harus menahan nafsu. Dari sinilah perseteruan dimulai! Menurut saya, tidak ada polemik yang perlu diperpanjang, entah siapa yang memulai, tapi pembahasan ini seharusnya selesai sejak kedua titah itu dituliskan. Jika dilanjutkan, akhirnya muncul ribuan pertanyaan. Kenapa perempuan harus bertanggung jawab atas nafsu lelaki? Kenapa perempuan yang harus jaga diri dari lelaki, bukan sebaliknya? Dari pihak lain akan bertanya juga dengan konteksnya.  Menutup aurat itu kewajiban bagi perempuan, begitu juga menahan nafsu wajib bagi lelaki. Ego masing-masing yang membuat perdebatan ini tidak ada endingnya. Ada satu perspek...