Langsung ke konten utama

Yahya Sinwar dan Naluri Kepahlawanan Ja’far bin Abi Thalib

 


Ja’far bin Abi Thalib turun ke medan perang dengan keberanian, meski ada pesan tak biasa dari Nabi Muhammad bagi pasukan Mu’tah. Zaid bin Haritsah wafat, Ja’far langsung mengamankan panji Islam, tanda Islam tidak tunduk pada banyaknya pasukan Romawi. Tangan kanannya terputus, Ja’far hanya peduli pada panji Islam agar terus berkibar.

Kibaran panji Islam bukan soal simbol belaka, ada kobaran semangat yang akan mendorong tiga ribu umat Islam yang berjibaku. Giliran tangan kiri Ja’far yang ditebas, sisa tangannya bersusah payah menarik kembali panji Islam agar tetap berkibar. Ja’far wafat dalam kondisi yang mengenaskan, panji dilanjutkan oleh Ibnu Rawahah dan berujung kematian juga untu dirinya. Khalid bin Walid hadir memberi angina segar dan mampu mengusir ratusan ribu pasukan romawi dari Mu’tah.

Ja’far merupakan sahabat yang memiliki kapasitas kelas kakap, kemampuan bernegosiasi di hadapan Raja Najasyi berhasil mengamankan puluhan umat Islam di Ethiopia. Saat berduel dengan pedangnya pun masih bisa diandalkan. Padahal Nabi Muhammad memberi amanah kepada para panglima perang Mu’tah di luar kebiasaanya. Menunjuk tiga panglima dalam satu waktu agar saling bergantian jika salah satunya wafat lebih dulu.

Ketiganya seolah harus berjalan tegak bersama seluruh pasukan, dengan prediksi ketiganya akan wafat dalam pertempuran. Tidak ada langkah yang tegak dan penuh percaya dalam diri mereka, melainkan hidup mulia atau mati sebagai syuhada.

“Bila Zaid terbunuh, maka Ja’far bin Abi Thâlib yang menggantikan. Dan bila Ja’far terbunuh, maka Abdullâh bin Rawâhah yang menggantikan” ucap Nabi.

Siapa yang berani melangkah ke dalam pertempuran, padahal takdir kematian sudah ada di hadapan?

Dialah Yahya Sinwar, pemimpin Hamas yang baru saja mati syahid oleh serangan Israel. Sosok Yahya mengingatkan kita pada Ja’far bin Abi Thalib dalam perang Mu’tah. Bukan tipikal pemimpin yang sembunyi di gorong-gorong atau menyamar untuk menyelamatkan hidupnya. Ia hanya berpikir untuk kebebasan Palestina dan menunjukkan perlawanan nyata.

Video yang beredar menjadi saksi perlawanan Yahya Sinwar terhadap zionis Israel di hadapan dunia. Tangan kanannya yang sudah terputus tidak membuatnya tunduk di hadapan penjajah. Kepulan debu beterbangan tanda drone semakin mendekat, berusaha menyaksikan lemahnya pimpinan Hamas di ujung kematiannya.

Ternyata itu hanya khayalan dalam benak pasukan zionis Israel. Sisa tenaga yang ada dikumpulkan ke tangan kirinya, Yahya Sinwar berusaha meraih apapun untuk melawan di bawah reruntuhan bangunan. Drone semakin dekat dan ia melemparkan bongkahan kayu dengan sekuat tenaga, meski tidak menyentuhnya sama sekali.

Para penjajah merasa bangga denga informasi wafatnya pimpinan Hamas melalui video drone tersebut. Padahal itu menunjukkan perlawanan nyata sosok Yahya terhadap kejamnya penjajahan Israel. Video itu akan abadi, tersebar ke seluruh dunia dan menjadi panggilan mulia bagi umat Islam yang berjiwa pejuang. Yakinlah perlawanan benar-benar ada, mungkin pernah kita saksikan di film Hollywood, tapi ini bukan cerita fiktif.

“Saya tidak ingin meninggal karena sakit stroke atau virus covid. Usia saya mendekati 60 tahun, biarkanlah saya meninggal syahid dalam pertempuran”, begitu kurang lebih wasiat Yahya Sinwar.

Naluri kepahlawanan Ja’far bin Abi Thalib pada perang Mu’tah telah menjelma pada Yahya Sinwar dalam perjuangan untuk kemerdekaan Palestina. Ingatlah namanya, YAHYA SINWAR, lahir sebagai pengungsi dan wafat sebagai martir. Tidak seperti si pengecut Netanyahu yang berpesta di bawah kaki Amerika, atau tentara Israel yang sembunyi di balik tank bajanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jaminan Dewasa bukan Usia

Masalah dewasa selalu menjadi persoalan di tengah kebingungan orang menentukan standar apa yang harus dipahami. Soal standar dewasa ini memang sangat relatif. Sulit mencari sudut pandang yang objektif, sebab ukuran dewasa seseorang sangat banyak pertimbangannya. Melihat dari sudut satu tidak menutup perbedaan yang terbentang dari sudut pandang satunya. Belum lagi dilihat dari banyak ilmu yang berbicara tentang seperti apa dewasa sebenarnya. Bahkan saat kita mengatakan “masyarakat indonesia belum terlalu dewasa menyikapi masalah” , justru pernyataan itu akan berbalik. Dewasa kah orang yang mengatakan masyarakat belum dewasa? Dalam mata hukum misalnya, secara umum  batas usia seorang dewasa adalah 21 tahun. Tapi dalam undang-undang lainnya menentukan batas usia yang berbeda dalam memandang kedewasaan. Menurut sebagian ahli menyebut batas awal dewasa adalah usia 18 tahun. Sedangkan hukum Islam menyebut seorang baligh adalah dengan ihtilam, tumbuhnya rambut kemaluan dan usia t...

Perempuan Menutup Aurat atau Lelaki Menahan Nafsu?

Polemik patriarki selalu jadi tema pembahasan para feminism. Ada sudut pandang lain yang menurut mereka lelaki terlalu spesial dari perempuan.  Salah satunya soal perintah perempuan harus menutup aurat, lalu dihubungkan dengan soal tindakan kriminal, pemerkosaan dan menjaga kehormatan. Feminism melihat bukan soal perempuan yang harus menutup aurat, tapi lelakilah yang harus menahan nafsu. Dari sinilah perseteruan dimulai! Menurut saya, tidak ada polemik yang perlu diperpanjang, entah siapa yang memulai, tapi pembahasan ini seharusnya selesai sejak kedua titah itu dituliskan. Jika dilanjutkan, akhirnya muncul ribuan pertanyaan. Kenapa perempuan harus bertanggung jawab atas nafsu lelaki? Kenapa perempuan yang harus jaga diri dari lelaki, bukan sebaliknya? Dari pihak lain akan bertanya juga dengan konteksnya.  Menutup aurat itu kewajiban bagi perempuan, begitu juga menahan nafsu wajib bagi lelaki. Ego masing-masing yang membuat perdebatan ini tidak ada endingnya. Ada satu perspek...