Langsung ke konten utama

Kenapa Kopi Kemasan Murah?


Sejak hidup di kaki Gunung Ciremai dan melihat kegiatan para petani kopi, ada pertanyaan paling membuat penasaran. “Ko bisa harga kopi kemasan semurah itu, sedangkan di kafe semahal itu?”. Semua orang mempertanyakannya, sampai akhirnya berujung pada prasangka baik masing-masing.

Kopi Cibunar dari kaki Gunung Ciremai memiliki kualitas yang beragam, di antara yang sering dikirim ke banyak kafe-kafe adalah Robusta dengan harga standar 150–200k per kg. Harga ini cukup tinggi jika melihat hitungan setiap satu gelas kopi susu yang paling diminati masyarakat.

Mari kita hitung! Segela kopi susu di kafe biasanya menggunakan single shot espresso, dengan kisaran 7–9 gram biji kopi. Selanjutnya melalui grinding, lalu ada proses pressing melalui mesin espresso hingga menghasilkan 1 shot espresso.

Selanjutnya kita hitung harga standar kopi per kilogram (misalnya) kita ambil 200k per kg. Lalu kebutuhan segela kopi susu adalah 1 shot espresso dengan 9 gram kopi. Maka dapat dihitung kira-kira butuh 1.800 rupiah untuk menghasil 1 shot espresso. Perhatikan! untuk segelas kopi susu butuh kisaran 1.500 rupiah sampai 2.000 rupiah untuk kopinya saja. Belum terhitung susu, krimer, gula atau sirup perasa lainnya.

Lalu, bagaimana jika kita bandingkan dengan kopi hitam kemasan atau kopi susu kemasan yang sekali seduh hanya butuh kisaran 1.000 rupiah? Ko bisa?

Kita tidak sedang membicarakan keuntungan kafe yang menjual kopi susunya dengan kisaran 15 ribu sampai 35 ribu rupiah. Atau hingga 50 ribu rupiah per gelasnya. Tapi kita coba bermuhasabah, kenapa harga jualnya bisa 10 sampai 25 kali lipat? Apakah itu kopi yang sama? Apakah karena pabrik membeli kopi dengan jumlah yang besar, sehingga harganya bisa ditekan 25 kali lipat lebih murah? Mungkin saja.

Tapi …

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yahya Sinwar dan Naluri Kepahlawanan Ja’far bin Abi Thalib

  Ja’far bin Abi Thalib turun ke medan perang dengan keberanian, meski ada pesan tak biasa dari Nabi Muhammad bagi pasukan Mu’tah. Zaid bin Haritsah wafat, Ja’far langsung mengamankan panji Islam, tanda Islam tidak tunduk pada banyaknya pasukan Romawi. Tangan kanannya terputus, Ja’far hanya peduli pada panji Islam agar terus berkibar. Kibaran panji Islam bukan soal simbol belaka, ada kobaran semangat yang akan mendorong tiga ribu umat Islam yang berjibaku. Giliran tangan kiri Ja’far yang ditebas, sisa tangannya bersusah payah menarik kembali panji Islam agar tetap berkibar. Ja’far wafat dalam kondisi yang mengenaskan, panji dilanjutkan oleh Ibnu Rawahah dan berujung kematian juga untu dirinya. Khalid bin Walid hadir memberi angina segar dan mampu mengusir ratusan ribu pasukan romawi dari Mu’tah. Ja’far merupakan sahabat yang memiliki kapasitas kelas kakap, kemampuan bernegosiasi di hadapan Raja Najasyi berhasil mengamankan puluhan umat Islam di Ethiopia. Saat berduel dengan ped...

Jaminan Dewasa bukan Usia

Masalah dewasa selalu menjadi persoalan di tengah kebingungan orang menentukan standar apa yang harus dipahami. Soal standar dewasa ini memang sangat relatif. Sulit mencari sudut pandang yang objektif, sebab ukuran dewasa seseorang sangat banyak pertimbangannya. Melihat dari sudut satu tidak menutup perbedaan yang terbentang dari sudut pandang satunya. Belum lagi dilihat dari banyak ilmu yang berbicara tentang seperti apa dewasa sebenarnya. Bahkan saat kita mengatakan “masyarakat indonesia belum terlalu dewasa menyikapi masalah” , justru pernyataan itu akan berbalik. Dewasa kah orang yang mengatakan masyarakat belum dewasa? Dalam mata hukum misalnya, secara umum  batas usia seorang dewasa adalah 21 tahun. Tapi dalam undang-undang lainnya menentukan batas usia yang berbeda dalam memandang kedewasaan. Menurut sebagian ahli menyebut batas awal dewasa adalah usia 18 tahun. Sedangkan hukum Islam menyebut seorang baligh adalah dengan ihtilam, tumbuhnya rambut kemaluan dan usia t...

Perempuan Menutup Aurat atau Lelaki Menahan Nafsu?

Polemik patriarki selalu jadi tema pembahasan para feminism. Ada sudut pandang lain yang menurut mereka lelaki terlalu spesial dari perempuan.  Salah satunya soal perintah perempuan harus menutup aurat, lalu dihubungkan dengan soal tindakan kriminal, pemerkosaan dan menjaga kehormatan. Feminism melihat bukan soal perempuan yang harus menutup aurat, tapi lelakilah yang harus menahan nafsu. Dari sinilah perseteruan dimulai! Menurut saya, tidak ada polemik yang perlu diperpanjang, entah siapa yang memulai, tapi pembahasan ini seharusnya selesai sejak kedua titah itu dituliskan. Jika dilanjutkan, akhirnya muncul ribuan pertanyaan. Kenapa perempuan harus bertanggung jawab atas nafsu lelaki? Kenapa perempuan yang harus jaga diri dari lelaki, bukan sebaliknya? Dari pihak lain akan bertanya juga dengan konteksnya.  Menutup aurat itu kewajiban bagi perempuan, begitu juga menahan nafsu wajib bagi lelaki. Ego masing-masing yang membuat perdebatan ini tidak ada endingnya. Ada satu perspek...