Langsung ke konten utama

Bahagia ala Nabi Sulaiman AS

Menjadi bahagia merupakan harapan semua manusia. Segala gerak tubuh dan pikirnya selalu berjalan dalam orientasi bahagia. Pertimbangan yang menentukan langkahnya pun bergantung kepada itu. Bahagia menjadi standar pembanding bagi manusia dalam merancang langkah demi langkah semasa hidupnya. Terkadang jalur utama bahagia penuh onak dan duri, tidak semua mulus melaluinya. Lalu sebagian mengambil jalur cepat, melalui jalan yang kotor, mengorbankan segala yang berada di sekitarnya.

Dalam Islam bahagia merupakan pecahan dari proses dan hasil yang lurus sebanding dengan dunia dan akhirat. Kaidah ini menjadi pedoman hidup umat Islam saat dirinya harus bergerak menuju bahagia sebab nalurinya. Untuk itu Islam tidak mengajarkan cara yang merusak dan merugikan untuk sekadar mendapat kebahagiaan yang fana. Ada proses yang menjadi standar keberhasilan seseorang saat harus meraih kebahagiaan.

Proses dan hasil bahagia yang benar mengerucut  pada syukur. Kenapa begitu? Karena standar bahagia sulit kita temukan. Orang bilang bahagia saat lulus kuliah, lalu pengangguran. Orang bilang bahagia saat menikah, lalu dicibir sekitar. Orang bilang bahagia saat punya harta yang banyak, lalu merasa kurang. Semakin tinggi standar bahagia di dunia, khayalan definisi bahagia akan semakin tinggi juga. Terus tidak ada ujungnya. Hanya syukur yang akan menghentikannya.

Seorang raja dan nabi, Sulaiman as memberi contoh bagaimana dirinya menjadi bahagia dengan syukur, sedangkan di sisi lain hartanya melimpah, istana yang megah, ditambah bala tentara yang terdiri dari angina, jin, hewan selain manusia. Namun perhatikan alquran mengisahkan saat dirinya mendengar perkataan seekor semut, “Wahai semut-semut! Masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh SUlaiman dan bala tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari”.

“..maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa: “Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh”.(QS. 27 : 18-19)

Permintaan Sulaiman as justru agar diberi ilham untuk tetap bersyukur atas kekayaan yang telah diberikan. Tanpa syukur apa yang didapatkan akan selalu kurang dan meminta tambahan. Saat fitrahnya sebagai manusia menginginkan kebahagiaan, maka ia meminta syukur agar kebahagiaan yang hakiki dapat diraihnya. Naluri bahagia sang raja ada, tapi syukur menjadi perjalanan yang ia pilih demi meraih kebahagiaan sejati. Doanya mendefiniskan bahwa kebahagiaan menurutnya adalah syukur, amal saleh dan menjadi hamba yang saleh.

Saat orang-orang berdoa agar menjadi orang bahagia, justru beliau berdoa agar memiliki syukur. Sulaiman as berhasil menantang naluri bahagianya untuk diproyeksikan menjadi sebuah syukur. Beliau juga merubah sudut pandang kebanyakan dimana bahagia merupakan bahagia itu sendiri menurut kecerdasannya. Dia merubah perspektif kenikmaatan harta semata  menjadi kelemahan diri dan ketaatan di hadapan-Nya.

Sehingga fitrah ingin bahagia yang ada pada kebanyakan manusia merupakan tujuan yang tidak stabil. Padahal tujuan harus stagnan agar bisa fokus dalam berproses. Oleh karena itu, syukur merupakan tujuan yang sebenarnya bagi yang ingin merasakan kebahagiaan. Syukur tidak pernah berubah, ia tidak berubah sebagai bentuk penghambaan manusia kepada Allah swt, bukti kerendahan diri di hadapan-Nya. Syukur merupakan stagnasi keberadaan kita di hadapan-Nya untuk terus taat dan patuh pada perintah-Nya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yahya Sinwar dan Naluri Kepahlawanan Ja’far bin Abi Thalib

  Ja’far bin Abi Thalib turun ke medan perang dengan keberanian, meski ada pesan tak biasa dari Nabi Muhammad bagi pasukan Mu’tah. Zaid bin Haritsah wafat, Ja’far langsung mengamankan panji Islam, tanda Islam tidak tunduk pada banyaknya pasukan Romawi. Tangan kanannya terputus, Ja’far hanya peduli pada panji Islam agar terus berkibar. Kibaran panji Islam bukan soal simbol belaka, ada kobaran semangat yang akan mendorong tiga ribu umat Islam yang berjibaku. Giliran tangan kiri Ja’far yang ditebas, sisa tangannya bersusah payah menarik kembali panji Islam agar tetap berkibar. Ja’far wafat dalam kondisi yang mengenaskan, panji dilanjutkan oleh Ibnu Rawahah dan berujung kematian juga untu dirinya. Khalid bin Walid hadir memberi angina segar dan mampu mengusir ratusan ribu pasukan romawi dari Mu’tah. Ja’far merupakan sahabat yang memiliki kapasitas kelas kakap, kemampuan bernegosiasi di hadapan Raja Najasyi berhasil mengamankan puluhan umat Islam di Ethiopia. Saat berduel dengan ped...

Jaminan Dewasa bukan Usia

Masalah dewasa selalu menjadi persoalan di tengah kebingungan orang menentukan standar apa yang harus dipahami. Soal standar dewasa ini memang sangat relatif. Sulit mencari sudut pandang yang objektif, sebab ukuran dewasa seseorang sangat banyak pertimbangannya. Melihat dari sudut satu tidak menutup perbedaan yang terbentang dari sudut pandang satunya. Belum lagi dilihat dari banyak ilmu yang berbicara tentang seperti apa dewasa sebenarnya. Bahkan saat kita mengatakan “masyarakat indonesia belum terlalu dewasa menyikapi masalah” , justru pernyataan itu akan berbalik. Dewasa kah orang yang mengatakan masyarakat belum dewasa? Dalam mata hukum misalnya, secara umum  batas usia seorang dewasa adalah 21 tahun. Tapi dalam undang-undang lainnya menentukan batas usia yang berbeda dalam memandang kedewasaan. Menurut sebagian ahli menyebut batas awal dewasa adalah usia 18 tahun. Sedangkan hukum Islam menyebut seorang baligh adalah dengan ihtilam, tumbuhnya rambut kemaluan dan usia t...

Perempuan Menutup Aurat atau Lelaki Menahan Nafsu?

Polemik patriarki selalu jadi tema pembahasan para feminism. Ada sudut pandang lain yang menurut mereka lelaki terlalu spesial dari perempuan.  Salah satunya soal perintah perempuan harus menutup aurat, lalu dihubungkan dengan soal tindakan kriminal, pemerkosaan dan menjaga kehormatan. Feminism melihat bukan soal perempuan yang harus menutup aurat, tapi lelakilah yang harus menahan nafsu. Dari sinilah perseteruan dimulai! Menurut saya, tidak ada polemik yang perlu diperpanjang, entah siapa yang memulai, tapi pembahasan ini seharusnya selesai sejak kedua titah itu dituliskan. Jika dilanjutkan, akhirnya muncul ribuan pertanyaan. Kenapa perempuan harus bertanggung jawab atas nafsu lelaki? Kenapa perempuan yang harus jaga diri dari lelaki, bukan sebaliknya? Dari pihak lain akan bertanya juga dengan konteksnya.  Menutup aurat itu kewajiban bagi perempuan, begitu juga menahan nafsu wajib bagi lelaki. Ego masing-masing yang membuat perdebatan ini tidak ada endingnya. Ada satu perspek...