Dalam Islam bahagia merupakan pecahan dari proses dan hasil yang
lurus sebanding dengan dunia dan akhirat. Kaidah ini menjadi pedoman hidup umat
Islam saat dirinya harus bergerak menuju bahagia sebab nalurinya. Untuk itu
Islam tidak mengajarkan cara yang merusak dan merugikan untuk sekadar mendapat
kebahagiaan yang fana. Ada proses yang menjadi standar keberhasilan seseorang
saat harus meraih kebahagiaan.
Proses dan hasil bahagia yang benar mengerucut pada syukur. Kenapa begitu? Karena standar
bahagia sulit kita temukan. Orang bilang bahagia saat lulus kuliah, lalu
pengangguran. Orang bilang bahagia saat menikah, lalu dicibir sekitar. Orang
bilang bahagia saat punya harta yang banyak, lalu merasa kurang. Semakin tinggi
standar bahagia di dunia, khayalan definisi bahagia akan semakin tinggi juga.
Terus tidak ada ujungnya. Hanya syukur yang akan menghentikannya.
Seorang raja dan nabi, Sulaiman as memberi contoh bagaimana dirinya
menjadi bahagia dengan syukur, sedangkan di sisi lain hartanya melimpah, istana
yang megah, ditambah bala tentara yang terdiri dari angina, jin, hewan selain
manusia. Namun perhatikan alquran mengisahkan saat dirinya mendengar perkataan
seekor semut, “Wahai semut-semut! Masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar
kamu tidak diinjak oleh SUlaiman dan bala tentaranya, sedangkan mereka tidak
menyadari”.
“..maka dia tersenyum dengan tertawa karena
(mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa: “Ya Tuhanku berilah aku
ilham untuk tetap mensyukuri nikmat Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku
dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau
ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu
yang saleh”.(QS. 27 : 18-19)
Permintaan Sulaiman as justru agar diberi ilham
untuk tetap bersyukur atas kekayaan yang telah diberikan. Tanpa syukur apa yang
didapatkan akan selalu kurang dan meminta tambahan. Saat fitrahnya sebagai
manusia menginginkan kebahagiaan, maka ia meminta syukur agar kebahagiaan yang
hakiki dapat diraihnya. Naluri bahagia sang raja ada, tapi syukur menjadi
perjalanan yang ia pilih demi meraih kebahagiaan sejati. Doanya mendefiniskan
bahwa kebahagiaan menurutnya adalah syukur, amal saleh dan menjadi hamba yang
saleh.
Saat orang-orang berdoa agar menjadi orang bahagia, justru beliau
berdoa agar memiliki syukur. Sulaiman as berhasil menantang naluri bahagianya
untuk diproyeksikan menjadi sebuah syukur. Beliau juga merubah sudut pandang
kebanyakan dimana bahagia merupakan bahagia itu sendiri menurut kecerdasannya.
Dia merubah perspektif kenikmaatan harta semata
menjadi kelemahan diri dan ketaatan di hadapan-Nya.
Komentar
Posting Komentar