Buah Tangan
Liburan
Keringat
mengucur di dahinya, kaos olahraga kuning hijau khas SDN Karangsambung 1
menjepit tubuh kecilnya berkat lem alami dari keringat di tubuhnya. Ia terlihat
begitu lincah menggiring bola plastik di lapangan depan sekolah. Waktu duha
sudah mendekati akhir, panas terik tidak tertahankan lagi, dahinya pun mengerut
melindungi sedikit saja terik matahari.
“Dean… ambil bolanya!” teriak kawan mainnya.
Kulit sawo
matangnya sedikit menutupi merah pada wajahnya, Dean yang masih kelas 5 selalu
jadi bahan suruhan kaka kelasnya saat bermain bola. Skillnya cukup mumpuni
sehingga tidak jarang kawan main bolanya justru dari kelas 6. Kekesalannya
bukan karena suruhan yang merasa dirinya diperbudak kesana-kemari. Namun,
kondisi lapangan yang terbatas sehingga acapkali bola voli menyebrang lapangan sepak
bola dan sebaliknya. Sepertinya Dean sangat terganggu dengan lalu-lalang bola
yang bukan bagiannya. Maklum jarak antar lapang kurang dari satu meter.
“teeettt…”
suara bel berbunyi.
Seluruh siswa
menohok melihat ke pengeras suara, mimik muka mereka mengandung beribu tanya
tentang sebab-musabab bel berbunyi di akhir jam sekolah. Seharusnya tidak perlu
lagi ada aturan formal yang berlaku.
“Assalamualaiakum warahmatullahi wabarakatuh, kepada seluruh siswa
agar segera masuk ke kelasnya masing-masing”
Pengeras suara
telah menyengat hati siswa-siswi yang riang menikmati hari terakhirnya mereka
sekolah. Biasanya sebelum bagi rapor tidak perlu ada kegiatan. Muka mereka berbalik
cemberut sambil berbondong-bondong menuju lorong dan masuk ke kelas. Mayoritas
siswa terlihat menunduk lesu, sebagian masih menikmati jajanannya depan kelas
sambil menunggu wali kelas kesayangan mereka tiba. Dean duduk di baris ketiga
pojok paling kanan sejajar dengan bangku guru. Sambil menyandar ke dinding,
kakinya direntangkan sejajar dengan pahanya, kursi sampingnya digunakan untuk
sandaran tumit kakinya setelah permainan yang cukup melelahkan.
“Siap, beri salam!” ucap Dzikry, ketua murid kelas 5, Dean pun
bergegas menurunkan kakinya dan menghadap ke depan. Begitu pun siswa lainnya.
Wali kelas tiba dengan senyuman.
“Assalamualaiakum warahmatullahi wabarakatuh” suara menggema dari
kelas 5 memberi penghormatan kepada wali kelas.
Dean ikut serta
mengucapkan salam, meski dengan suara seadanya. Ia benar-benar terlihat lesu,
tidak seceria hari-hari biasanya. Kondisi kelaspun kala itu tidak seperti
biasanya. Seluruh pandangan mata penghuni kelas seperti saling bertanya, jadwal yang harusnya diisi
dengan main-main justru harus masuk kelas.
Menjawab keluh,
gelisah yang keluar dari raut muka anak didiknya, sang wali kelas merasa
bertanggung jawab mengembalikan senyuman mereka. Ia pun berusaha memompa
semangat agar siap menerima wejangan yang akan segera disuguhkan.
“anak-anak, besok kalian terima hasil ujian dan lusa sudah mulai
libur. Liburnya cukup panjang hampir dua minggu jadi manfaatkan dengan baik ya”
Pesan Bu Tati.
Sebagai wali
kelas Bu Tati merasa perlu memberi motivasi dan arahan kepada anak didiknya
dalam menghadapi liburan panjang agar tidak sia-sia. Meski info libur disampaikan,
siswa tidak bereaksi berlebihan. Liburan ibarat sarapan di pagi hari bagi
mereka, tapi tidak rakyat Ethiopia. Mereka seperti menerima mendung saat terik
matahari, ujung-ujungnya hujan juga. Seakan siswa paham betul apa dibalik semua
ini.
“oh iya, ibu ada oleh-oleh nih buat kalian di rumah ya” tambah sang
wali kelas.
“yahhh…” balas seluruh siswa di kelas.
“mantaaapp…” bisik Dean dengan muka ketus.
“oleh-olehnya, gunakan waktu libur kalian untuk menulis karangan
dengan satu dari tiga tema yang ibu berikan ya. Satu, berlibur di Desa. Dua,
berkunjung ke rumah nenek. Tiga, berdarmawisata”
Setelah teduh, hujan itu benar-benar tiba. Kabar liburan tidak
sepenuhnya memberi semangat. Oleh-oleh wali kelas sepertinya tidak membuat
siswa bahagia, termasuk Dean. Hampir seluruh raut muka di dalam kelas seakan ingin
mengucapkan, “oleh-oleh macam apa ini?!”.
*****
Libur telah
tiba, beberapa hari dilalui Dean dengan kegiatan liburan biasanya, yaitu
menjaga warung bapaknya. Pagi itu ia masih memanjakan matanya dengan film
kartun di layar televisinya. sesekali dia melihat ke arah meja samping TV
dimana dia menyimpan rapor hasil ujiannya. ‘Dean Nugraha’ untuk ke sekian
kalinya Dean melihat cover rapornya.
Juara kelas belum
pernah didapatkannya, tapi pemikirannya cukup dewasa dibanding anak-anak
sekelasnya, semangat belajarnya melebihi juara di kelasnya. Dean lanjut membuka
lembaran rapornya. Tak ada sedikit pun raut muka kecewa saat memandangi deretan
angka tersebut, usaha maksimal menjadi wasiat yang tertanam dalam benaknya.
Yang terbesit justru oleh-oleh Bu Titi yang meredupkan semangat liburan siswa
di kelas kala itu.
Tidak seperti
kebanyakan kawan sebayanya, oleh-oleh dari wali kelas ditinggalkannya di kolong
meja-meja mereka, masuk telingan kanan keluar telinga kiri, sehingga liburannya
tanpa membawa beban. Sedangkan pribadi rajin dan semangat belajar Dean membuat
oleh-oleh sebungkus karangan itu seakan menjadi sekarung tanggungan.
Dean kembali
duduk di sofa tua yang menghadap ke televisi, seperti diajarkan orangtuanya
tugas dari guru harus dipahami sebagai proses belajar yang harus dilalui.
Kebingungan kembali hinggap dalam pikirannya, kini bukan perihal tanggungan
tugasnya, melainkan bagaimana dia bisa menerima oleh-oleh berwujud tugas
tersebut dengan tenang. Pasalnya tugas karangan yang diterima oleh telingan
Dean seakan runtutan kemustahilan yang akan ia lalui selama liburan.
“lantas, gimana aku buat
karangannya?” berkomunikasi dengan cermin yang menempel di dinding tepat
dihadapannya.
Tentang
berlibur di Desa tidak ada yang unik bisa diceritakan, tidak ada yang menarik,
kesehariannya pun memang di Desa. Lalu berkunjung ke rumah nenek pun bagi Dean
tak perlu menunggu libur, sebab orangtua tinggal di rumah neneknya, tak perlu
waktu khusus sehingga menjadi momen yang layak baginya dituangkan dalam sebuah
karangan. Sedangkan berdarmawisata pun bukan agenda terjadwal yang akan ia
dapatkan, kecuali ada saudara yang mengajaknya liburan. Selain itu ia akan
berada di kursi yang tertutupi etalase-etalase kaca yang dipenuhi barang dagangan
milik bapaknya yang menempel depan rumahnya.
Bagi seorang
anak berumur sepuluh tahun, tema-tema yang dibungkus oleh wali kelasnya selalu
diidentikan dalam bentuk liburan. Baginya itu semua bukan liburan, oleh-oleh
yang membebani pundaknya seakan omong kosong. Bagi sebagian orang menjenguk
nenek merupakan bagian dari liburannya. Menjenguk nenek sama dengan berlibur ke
desa, semua itu tidak ada yang spesial baginya.
“yan… jagain warung ya, mau
ke kolam bentar” panggilan bapaknya mengaburkan urusan tugasnya.
“iyaa pak” jawab Dean.
Sambil
melangkah menuju warung bapaknya terbesit dalam pikirannya, untuk meminta
liburan sekadar untuk merasakan kalau dirinya pun bisa berada pada momen
liburan pada ummnya. Dean memperlambat langkahnya, sengaja agar tepat di pintu
keluar ia berpapasan dengan ayahnya.
“pak liburan yu …” ajaknya polos. Dean memberanikan diri meski kemungkinan
pembicaraannya akak dialihkan seperti liburan-liburan sebelumnya.
“ayoo, bapak juga mau liburan nih” jawab bapaknya
sambil tersenyum dan mengangkat ember kecil berisi bekas makanan untuk pakan
ikan.
“yahh, itu mah bukan liburan pak” Dean langsung masuk ke warung, dan memandang
punggung ayahnya semakin menjauh.
Sambil menunggu
pembeli Dean kembali merenung, kini bukan lagi masalah perasaan libur yang
tidak liburan. Ia merenungkan kalimat bapaknya yang selalu terulang dari
mulutnya setiap kali si anak meminta liburan ke suatu tempat saat liburan
sekolah. Ia sepertinya mendapat definisi yang sesungguhnya dari buah tangan Bu
Tati.
Anak sepuluh
tahun ini dengan polosnya mulai memikirkan kalau yang diminta gurunya adalah
karangan, cerita saat liburan bukan jalan-jalan dengan serba kemewahan. Liburan
hanya sebuah masa peralihan dari satu momen ke momen lainnya. Perpindahan fase
satu ke fase dua untuk kembali ke fase satu.
“kalau begitu nonton kartun seharian pun liburan, kan ga sekolah”
kembali
Ide gilanya
mulai bermunculan. Namun sayang ide itu tidak ada dalam kategori tema yang
diberi wali kelasnya. Artinya guru itu memang berpesan agar siswa mengisi libur
dengan kegiatan yang positif. Dean mulai menyobek kertas dari buku tulis yang
berisi data barang dagangan milik ayahnya, pulpen yang sudah tak berkepala
digunakannya untuk menulis kisah liburan yang ia lalui.
Kepakan sandal
menyentuh ubin halaman rumah terdengar semakin mendekat, Dean paham betul
bapaknya sudah pulang kolam ikan.
“lagi nulis apa yan, bukan kasbon kan” tanya bapaknya
sambil senyum.
“ini Dean lagi nulis tugas buat karangan pas liburan pa” jawab Dean.
“emang kamu liburan kemana?” sindir bapaknya.
“tadi bapak bilang ngasih makan ikan liburan juga kan?” polos Dean
sambil nyengir.
“nah itu dia, cakeppp” bapaknya terlihat bangga melihat si anak mendapat pesan yang ia
maksud yang ia ambil dari surah al-Insyirah ayat sebelum terakhir.
“yahhh.. kan..” balas Dean cemberut, pasalnya dia kembali menyadari, lagi-lagi liburan
kali ini tidak akan ada jalan-jalan yang disebut liburan. Namun, menjelang
liburan berakhir hidangan sang wali kelas sudah dinikmati dan buah tangan sudah
siap kembali dihidangkan untuk Bu Tati.
Komentar
Posting Komentar