“Saya diberi kenikmatan oleh Allah ilmu teknologi sehingga saya
bisa membuat pesawat terbang, tapi sekarang saya tahu bahwa ilmu agama lebih
manfaat untuk umat Islam, kalau saya disuruh milih antara keduanya maka saya
memilih ilmu agama”
-BJ Habibie-
Tatkala dunia ini hampir terjerumus
ke dalam jurang kehancuran, karena kebodohan dan kebiadaban. Tidak ada nilai,
norma dan etika. Seluruh hidup manusia saat itu dipasrahkan kepada kebodohan
kolektif. Lalu tampil Islam dengan konsep ke-Ilahian, persaudaraan dan
kebenaran. Mengarahkan manusia kepada cahaya kebebasan meninggalkan kejahilan
dan tahayul. Diletakan makna hidup selaras dengan fitrah manusia dimanapun
mereka berada. Seketika musyrik berubah menjadi iman, dilancarkanlah ibadah dan
muamalah. Ajarannya yang lengkap dan mudah mengatur hubungan sesama insan dan
kepada Tuhan, melalui jalur horizontal dan vertikal.
Lalu, semarak orang Barat yang gelap
menghadapi masa depannya dengan berguru dari orang Islam. jangan bayangkan
kegelapan Barat itu dengan gedung-gedung tinggi yang lampunya tidak menyala.
Mereka mungkin tidur beralaskan tikar, dengan perumahan yang kumuh, sekitarnya
dikelilingi oleh hutan belantara. Pada masanya Cordova dan Baghdad menjadi
pusat ilmu dan budaya. Ribuan buku menghiasi perpustakaanya, siapapun mereka
bisa membaca, menganalisa, menyampaikan dan menerjemahkannya. Islam terbuka
bagi siapapun mereka yang ingin memperbaiki taraf hidupnya. Hingga Barat
menikmati buah dari perjuangan mereka dan kebaikan umat Islam hingga sekarang.
Politik, sosial, ekonomi,
kemasyarakatan maupun ilmu pengetahuan yang mulai maju memang cenderung
mengantarkan manusia rakus akan kemegahan, kemewahan dan kekuasaan. Akhirnya
ambisi-ambisi besar itu dipandangnya secara subjektif menurut masing-masing
kepala mereka, dan perpecahan tidak bisa lagi terhindarkan. Terbius oleh
kelengahan hati dan diri, kekayaan dan kekuasaan tidak lagi diperhitungkan
dengan matang. Hingga jurang keruntuhan sudah semakin mendekati. Benar kata
Lord Acton, “authority tends to corrupt”.
Begitulah barangkali kesalahan dan
kekalahan umat Islam. Segalanya kembali pada akidah, keyakinan dan keimanan
yang mulai dan terus melemah sehingga kita seperti orang bodoh yang mudah
dipengaruhi oleh godaan yang mengantar pada bencana. Pertahanan terkuat yang
pernah Rasulullah ajarkan adalah fondasi akidah yang kuat. Ketika grafik
keimanan menurun, maka jiwa pelopor peradaban akan tergerus oleh kontes
kebiadaban. Bukan sesuatu yang ajaib jika Barat merebut kekuasaan dengan
menghapus jejak Islam sebagai peradaban yang pernah megah pada masanya. Itu
terjadi berkat jasa kita melemahkan akidah dan runtuhnya potensi ibadah dan
muamalah.
Benar lah apa yang Rasulullah
sabdakan,”Mereka diperebutkan ibarat makanan di atas pinggan”. Salah seorang
sahabat bertanya, “apakah di kala itu karena kita sedikit?”. Tidak!! Malahan
pada waktu itu jumlahmu besar, tetapi engkau ibarat buih yang mengalir. Dan
pada waktu itu Allah mencabut persaan takaut dari hati musuh-musuhmu, sedangkan
pada dirimu akan tertimpa wahn. Sahabat bertanya, “Apa wahn itu
ya Rasulullah?” yakni cinta dunia dan takut mati”.
Sehingga boleh lah kita menyebut itu
semua sebagai faktor utama dari nilai juang yang hilang. Kehilangan bukan
berarti tidak pernah ada, ia adalah momen-momen yang pernah kita penuhi tapi
kita melupakannya. Atau mungkin kekuasaan yang pernah digenggam, namun dicuri dalam
kedudukan yang rentan. Maka wajarlah jika kita arahkan kehilangan itu kepada
solusi membangkitkan kembali nilai juang yang pernah pendahulu kita
pertontonkan. Kita susun kembali bangunan ketabahan, keuletan, ksatria yang
ditegakan oleh generasi terdahulu. Tentunya fondasi terkuat untuk melawan
penyakit yang Rasulullah menyebutnya dengan wahn.
Dalam takaran Indonesia, nilai juang
memang tidak bisa kita sama ratakan, karena para pejuang dulu adalah kumpulan
manusia majemuk. Mereka datang dari berbagai latar belakang. Tapi ada yang bisa
kita satukan dalam kemajemukan, yaitu bela negara dan tak takut mati. Pejuang
memiliki visi yang sama, yaitu membebaskan bangsa dari kepungan para kompeni. Dan praktiknya mereka berjuang
tak kenal lelah, tak takut mati sekalipun harus beradu bambu dengan senapan
api. Dengan ini Islam telah memberikan pondasi yang sejalan dengan proses kita
berjuang. Bagi muslim menguatkan keimanan adalah cara kita mengembalikan nilai
juang yang pernah ada.
Wallahu a’lam
bisshowab.
Komentar
Posting Komentar