Pernikahan
merupakan ibadah yang tersurat dalam al-Quran dan hadis. Dengan segala
keistimewaan dan hikmah yang terkandung di dalamnya pernikahan memberikan
pahala bagi kedua pasangan. Tentu bagi mereka yang melakukannya dengan
sempurna. Kesempurnaannya terkandung dalam sebuah hadis yang menyebutkan
menikah ialah setengah dari pada agama (nishfu addin). Pernikahan dalam
Islam merupakan jaminan atas fitrah manusia, namun agama mengaturnya dengan
indah. Menikah bukan sebatas gerbang yang sah dilewati (dalam agama) untuk
melepaskan hawa nafsu manusia. Di dalamnya terdapat dakwah, jihad, sedekah dan
segala persembahan yang Allah berikan dalam rupa yang mesra, manja dan mempesona.
Realita
yang kita temukan menikah seperti ajang pertaruhan ketika kawanan jomblo (belum
menikah) dihadapkan dengan momen yang seharusnya saat itu mereka perlu menikah
menurut definisi orang tua atau sahabat yang sudah menikah. Meme dan segala
bentuk nasihat berubah maksud dari yang tadinya hiburan dan manfaat menjadi
horor. Momen-momen tertentu seakan menjadi konsekuensi saat para jomblo
menikmatinya tapi menghindar dari ajakannya. Akhirya ajakan atau nasihat
menikah justru menjadi pertanyaan, apakah wujud realisasi dari kebaikan atau
sindiran nonsense sebagai bentuk guyonan?
Menikah
itu ibadah, bahkan amalan sunnah yang banyak orang melakukannya. Tapi tidak
untuk diburu-buru atau ditinggalkan sama sekali. Mungkin seperti haji yang
pelaksanaannya perlu disiapkan mulai dari jiwa, material dan spiritualnya.
Menikah bukan obat dari segala penyakit anak muda jaman now, bukan juga solusi
atas beban orang tua pada anaknya, apalagi sekedar menuntaskan urusan dengan gertakan
media sosial. Jangan pula menjadi ajang kehebatan seorang tampan yang layak
meminang si cantik, atau yang kaya menghalalkan anak bangsawan. Islam punya
sesuatu yang lebih besar dari sekedar itu semua.
Atas
alasan yang masih bisa kita perjuangkan solusinya, menikah bukan akhir dari
gebrakan pemuda. Sehingga dorongan segera menikah (menikah muda) bisa jadi
tidak relevan dalam beberapa konteks hidup pemuda (jomblo). Sebab tidak semua
pemuda (jomblo) siap secara jiwa, spiritual dan material untuk menikah. Atau
sebagian lainnya mampu menuntaskan problem zina, narkoba, kekerasan dan lainnya
dengan semangat menuntut ilmu atau aktivitas kebaikan lainnya. Oleh karena itu
pernikahan tidak selalu menjadi tawaran terbaik untuk segala problematika
kehidupan pemuda, berilah tawaran terbaik lainnya kepada pemuda. Biarlah
menikah menjadi salah satunya saja. Biarkan para jomblo berpikir bahwa solusi
hidupnya bukan hanya menikah.
Okelah,
kita flashback dengan kisah para ulama dan tokoh yang tidak menikah
sekali atau menikah di usia yang tidak muda. Ada Imam mujtahid, mufassir,
perawi, penyair ialah Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thobari. Beliau
menguasai ilmu al-Quran dan banyak disiplin ilmu. Apa mungkin ulama sekaliber
Ath-Thobari tidak paham keistimewaan menikah? Dia tidak meninggalkan anak cucu,
tapi meninggalkan segudang ilmu yang bermanfaat. Begitupun Imam An-Nawawi yang
meninggal pada usia 40an dan belum menikah. Karya fenomenalnya banyak kita
nikmati hingga sekarang. Di Eropa pun begitu, banyak tokoh ternama yang
melajang demi sebuah tujuan yang lebih besar manfaatnya untuk manusia.
Jelas
kehidupan kita bukan untuk dibandingkan dengan mereka, tapi perlu kita pahami
bahwa ada banyak yang harus kita raih ketika muda. Menikah bukan satu-satunya
amalan yang wajib dilakukan ketika muda. Hidup itu untuk manfaat, “sebaik-baik
manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama manusia”. Yang harus kita pahami
adalah mengembalikan tugas pemuda dan apa yang harus dilakukannya kepada esensi
hidup sebagaimana manusia dalam Islam. Jika menikah tidak menambah manfaat
pemuda untuk hidup, agama, bangsa dan negaranya, maka pernikahan bukan satu hal
yang harus dipaksakan kepada pemuda jomblo. Sebab masih banyak aktivitas yang
menunjang kebermanfaatan lebih luas. Tapi jika menikah membuatnya semakin aktif
menebar manfaat, maka lakukanlah.
Namun,
saya melihat realitas pernikahan para pemuda justru membuat mereka pasif dalam
beberapa kegiatan. Mereka terlihat lebih terjaga dalam sikap, tapi menjadi
tidak dinamis dalam gerak maupun ide. Pemuda ini merasa ada kewajiban besar
ketika sudah terikat dengan janji akad, lalu beberapa kepentingan umat
terbengkalai. Bagi aktivis organisasi atau komunitas pernikahan seperti akad
meninggalkan segala kesibukannya yang dulu. Akhirnya segelintir dari
kesatuannya menyudutkan penikahan itu sendiri. Ibadah dan amalan sunnah yang
agung dan mulia dianggap melemahkan kinerja seorang pemuda. Pernikahan terbunuh
karakternya sebab pasangan pernikahan dianggap tidak lagi peduli kepentingan
bersama. Jatuhlah teori “menikah merusak masa muda”. Na’udzubillah.
Oleh
karena itu, kita harus memahami pernikahan sebagai langkah awal perjuangan
dalam dakwah Islam. Pernikahan menambah tanggung jawab, maka sebelum menikah
persiapkan segalanya. Persiapkan tenaga, karena saat itu kita akan berjuang
untuk agama dan bidadari dunia. Persiapkan materi, karena yang kita tanggung ada
saudara kita dan si cinta. Persiapkan hati, sebab yang kita doakan ada calon
buah hati dan rakyat Palestina. Saya merasa poin inilah yang harus banyak
ditekankan dalam banyak seminar pra-nikah. Memahamkan bahwa menikah bukan
menunda atau berhenti dari perjuangan. Pernikahan merupakan awal dari perjuangan,
awal dari perjalanan dakwah Islam. Tenaga harus semakin kuat, pundak harus
semakin tegak, yakinkan bahwa kita bisa lebih tegar menghadapinya.
Maka
pahami prioritas kita hidup begitupun saat menikah. Tugas kita “amar ma’ruf
nahi munkar”, tugas menebarkan dakwah Islam, tugas memenangkan pemimpin
yang peduli pada Islam dan umat Islam, tugas menjadikan Indonesia negara maju,
tugas meningkatkan mutu dan kualitas para pemuda, tugas melahirkan keturunan
guna kepentingan dakwah Islam, tugas memakmurkan tetangga, tugas menyatukan
ukhuwah Islam. Sebab itu, jangan paksa seseorang menikah jika tidak ada
kesanggupan untuk menuntaskan tugasnya sebagai pemuda. Nasihati mereka untuk
segera menikah jika dengan itu menambah kinerja untu menuntaskan tugasnya.
Wallahua’lam bisshowab
Komentar
Posting Komentar