Langsung ke konten utama

Belajar dari Kupu-kupu



Perumpamaan alam selalu menjadi pelajaran berharga bagi umat manusia. Bagi umat Islam hal semacam ini banyak ditemukan dalam ayat quraniyah, dimana Allah swt sering mengumpamakan suatu hal kepada hal lainnya. Permisalan kiamat dengan goncangan yang dahsyat, lalu bumi mengeluarkan segala isinya. Atau gambaran surga dengan permisalan yang sangat indah yang pernah kita temukan di dunia. Hal ini membuktikan bahwa perumpamaan banyak memberikan pelajaran kepada manusia.

Di bulan suci Ramadan perumpaman yang sering diungkapkan adalah perumpamaan puasanya ulat. Sejatinya setiap hewan akan berpuasa pada momen dan keperluan tertentu, termasuk ulat. Hewan termasuk yang menjijikan, orang-orang menghindarinya. Tetapi melalui proses metamorfosis ia menjadi sosok hewan yang dikagumi dan dinanti banyak orang. Sebelumnya dijauhi, kini ia dinanti-nanti.

Tentu bukan hal yang mudah. Untuk menjadi pribadi yang terpuji ulat harus mengurung diri dalam kepompong tanpa makan dan minum, menahan diri dari segala perbuatan yang dilakukannya sebelum ia berpuasa. Namun pekerjaan berat ini menghasilkan seekor kupu-kupu, makhluk ciptaan Allah swt yang begitu indah. Tubuhnya begitu anggung, gerakannya sangat lembut, sayapnya pun sangat indah. Ia terbang kesana- kemari menebarkan keindahan ciptaan Tuhan.

Fase ulat menjadi kupu-kupu merupakan sebuah analogi yang tepat digunakan untuk menggambarkan orang-orang berpuasa. Kupu-kupu merupakan role model puasanya orang-orang beriman, sebagaimana hasil yang diharapkan. Perubahannya mengarah kepada kebaikan. Puasa ulat tidak sia-sia, merenung, beritikaf, meninggalkan segala kebiasaan buruknya untuk menjadi kupu-kupu yang indah.

Perintah puasa Ramadan dalam alquran terdapat dalam albaqarah ayat 183. Perintah ini diawali dengan kalimat “wahai orang-orang yang beriman” dan diakhiri dengan harapan “agar kalian menjadi orang yang bertaqwa”. Dari proses iman menjadi taqwa itulah diperintahkan untuk berpuasa. Artinya puasa kita tidak tuntas tanpa perubahan menjadi pribadi yang bertaqwa. Puasa bisa saja dilakukan semua orang, non-muslim mungkin ikut berpuasa di bulan Ramadan, tapi tidak semua berhasil bertransformasi dari fase “iman” menjadi  taqwa”.

Kupu-kupu merupakan ayat kauniyah yang patut kita pelajari dan contoh dalam berpuasa. Hewan ini berpuasa menahan hasrat dirinya, tidak makan dan minum, pada fase tertentu ia pun berhasil menjadi makhluk yang dibanggakan. Fase puasa inilah yang harus kita ikuti agar puasa benar-benar mampu merubah diri kita menjadi lebih baik lahir maupun batin. Kupu-kupu mengajarkan kita agar dari puasa merubah kita dari maksiat menjadi taat, dari berdosa menjadi ibadah, dari putus asa menjadi semangat.

Sebaliknya kita tidak patut mencontoh puasanya ular. Hewan ini juga perlu berpuasa, ia berpuasa untuk mengganti kulitnya. Selesai puasa perubahan ular hanya sebatas luarnya saja, penampilan saja. Sebelumnya ular, setelah puasa tetap ular. Sebelumnya hewan yang ganas, setelah puasa masih ganas, sebelumnya makan daging setelah puasa tetap daging. Sebelumnya menyeramkan dan dijauhi, setelah puasa masih sama. Hanya penampilan saja yang berubah, selebihnya ulat tetap hewan yang menakutkan dan dijauhi banyak orang.

Oleh karena itu, jadikan puasa kita layaknya seekor ulat yang menahan diri dari segala kekhilafan, kerusakan, keburukan hingga menjadi pribadi yang baru. Pribadi kupu-kupu yang dicintai banyak orang. Dan jangan jadikan puasa seperti ular, dimana puasa hanya mampu merubah tampilan luarnya saja saat tuntas melewati puasa. Jangan puasa kita hanya berbuah baju lebaran saja, sedangkan hati kita tidak pernah tertata dengan baik, dan kebiasaan yang di bulan Ramadan tidak berbekas pada bulan setelahnya.

Allah swt telah menurun ayat-ayat kauniyah untuk dijadikan petunjuk bagi orang-orang yang berpikir. Bagi orang-orang fasik perumpamaan itu merupakan peringatan yang menyesatkan. Sedangkan perumpamaan berbuah petunjuk dan pelajaran yang orang yang beriman dan berpikir. Merugilah orang-orang meragukan peringatan Allah swt alam yang diciptakan-Nya.

“…Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allâh, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allâh kecuali orang-orang yang fasik, (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allâh sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allâh (kepada mereka)untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi” (QS albaqarah : 26-27)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yahya Sinwar dan Naluri Kepahlawanan Ja’far bin Abi Thalib

  Ja’far bin Abi Thalib turun ke medan perang dengan keberanian, meski ada pesan tak biasa dari Nabi Muhammad bagi pasukan Mu’tah. Zaid bin Haritsah wafat, Ja’far langsung mengamankan panji Islam, tanda Islam tidak tunduk pada banyaknya pasukan Romawi. Tangan kanannya terputus, Ja’far hanya peduli pada panji Islam agar terus berkibar. Kibaran panji Islam bukan soal simbol belaka, ada kobaran semangat yang akan mendorong tiga ribu umat Islam yang berjibaku. Giliran tangan kiri Ja’far yang ditebas, sisa tangannya bersusah payah menarik kembali panji Islam agar tetap berkibar. Ja’far wafat dalam kondisi yang mengenaskan, panji dilanjutkan oleh Ibnu Rawahah dan berujung kematian juga untu dirinya. Khalid bin Walid hadir memberi angina segar dan mampu mengusir ratusan ribu pasukan romawi dari Mu’tah. Ja’far merupakan sahabat yang memiliki kapasitas kelas kakap, kemampuan bernegosiasi di hadapan Raja Najasyi berhasil mengamankan puluhan umat Islam di Ethiopia. Saat berduel dengan ped...

Jaminan Dewasa bukan Usia

Masalah dewasa selalu menjadi persoalan di tengah kebingungan orang menentukan standar apa yang harus dipahami. Soal standar dewasa ini memang sangat relatif. Sulit mencari sudut pandang yang objektif, sebab ukuran dewasa seseorang sangat banyak pertimbangannya. Melihat dari sudut satu tidak menutup perbedaan yang terbentang dari sudut pandang satunya. Belum lagi dilihat dari banyak ilmu yang berbicara tentang seperti apa dewasa sebenarnya. Bahkan saat kita mengatakan “masyarakat indonesia belum terlalu dewasa menyikapi masalah” , justru pernyataan itu akan berbalik. Dewasa kah orang yang mengatakan masyarakat belum dewasa? Dalam mata hukum misalnya, secara umum  batas usia seorang dewasa adalah 21 tahun. Tapi dalam undang-undang lainnya menentukan batas usia yang berbeda dalam memandang kedewasaan. Menurut sebagian ahli menyebut batas awal dewasa adalah usia 18 tahun. Sedangkan hukum Islam menyebut seorang baligh adalah dengan ihtilam, tumbuhnya rambut kemaluan dan usia t...

Perempuan Menutup Aurat atau Lelaki Menahan Nafsu?

Polemik patriarki selalu jadi tema pembahasan para feminism. Ada sudut pandang lain yang menurut mereka lelaki terlalu spesial dari perempuan.  Salah satunya soal perintah perempuan harus menutup aurat, lalu dihubungkan dengan soal tindakan kriminal, pemerkosaan dan menjaga kehormatan. Feminism melihat bukan soal perempuan yang harus menutup aurat, tapi lelakilah yang harus menahan nafsu. Dari sinilah perseteruan dimulai! Menurut saya, tidak ada polemik yang perlu diperpanjang, entah siapa yang memulai, tapi pembahasan ini seharusnya selesai sejak kedua titah itu dituliskan. Jika dilanjutkan, akhirnya muncul ribuan pertanyaan. Kenapa perempuan harus bertanggung jawab atas nafsu lelaki? Kenapa perempuan yang harus jaga diri dari lelaki, bukan sebaliknya? Dari pihak lain akan bertanya juga dengan konteksnya.  Menutup aurat itu kewajiban bagi perempuan, begitu juga menahan nafsu wajib bagi lelaki. Ego masing-masing yang membuat perdebatan ini tidak ada endingnya. Ada satu perspek...