Kitab suci umat Islam pertama kali diturunkan kepada Rasulullah
dengan kalimat “iqra- bacalah”. Berbagai tafsir dituliskan oleh para
mufasir, dengan segala hikmahnya. Tidak bisa disangkal lagi bahwa perintah
Allah kepada umatnya melalui kalimat “bacalah” menjadi fenomenal dan kunci
kebangkitan Islam. Ayat ini hadir di tengah kultur masyarakat yang tertinggal
secara keilmuan (jahiliyah). Saat masyarakat Arab mengagungkan
kebodohannya yang sangat tidak logis, datanglah Islam dengan keilmuannya yang
logis.
Membaca biasanya identik dengan keilmuan, masyarakat yang berilmu
menjadi tanda peradaban yang maju. Meskipun peradaban yang besar tergantung
sudut pandangnya, seperti peradaban Barat yang dianggap maju dari sudut pandang
materialisme. Namun peradaban Islam adalah peradaban berbasis literasi,
keberadaannya sangat diperhitungkan diantara peradaban yang ada di dunia. Samuel
P Huntington menyebut peradaban Islam pernah mengungguli Barat sebanyak dua
kali. Sejarah menuliskan peradaban Islam terus berkembang dan berkuasa di dunia
mulai dari pengikutnya beberapa orang sampai menjadi mayoritas. Tradisi
literasi menjadi kekuatan umat Islam melalui membaca, menulis, mengkaji,
diskusi. Tradisi ini tidak hanya menguatkan keilmuan semata, namun meningkatkan
keimanan seseorang akan keberadaan Tuhannya. Masyarakat lebih mudah dan cepat
memahaminya.
Pada zaman Rasulullah gerakan literasi sudah gencar dilakukan.
Firman Allah yang disampaikan kepada Muhammad saw melalui beragam cara,
disampaikan kepada sahabat dan dituliskan. Kegiatan ini terus berlangsung
dengan media yang terbatas seperti pelepah kurma dan
tulang belulang. Mukjizat yang Allah sampaikan melalui tradisi literasi ini menjadikan
orisinalitas al-Quran tetap terjaga dan jauh dari kebohongan dan
hoax. Sejak pembukuan al-Quran dilakukan oleh khulafaurrasyidin mulai
dari dikumpulkan, diurutkan sampai menjadi mushaf melalui proses yang sangat
ketat, sejak itu pula para sahabat terbiasa mengolah data, informasi dengan seleksi
yang teliti, sehingga al-Quran tetap terjaga.
Membaca dan menulis merupakan kemampuan yang berbeda tapi tidak
bisa dipisahkan. Layaknya uang koin, membaca dan menulis memiliki sisi lain
tapi tetap berhubungan. Orang menulis sangat bergantung pada bacaannya, mulai
dari konten, tekhnik penulisan dan kosa kata. Amanah dari sebuah tulisan akan
sangat kental dengan pesan atau wacana yang ingin disampaikan. Sehingga faktor
ideologi, politik, budaya dan bacaan kepentingan tertentu akan membentuk pola
tulisan yang serupa.
Dulu Barat menyadari urgensi tradisi literasi yang diterapkan oleh
umat Islam. Saat itu ulama menuliskan kajian Islam, melahirkan tafsir-tafsir,
menerjemahkan buku-buku Yunani, membentuk ragam disiplin ilmu. Inilah cikal
bakal lahirnya ilmuwan muslim di berbagai bidang; astronomi, psikologi,
filsafat, kedokteran, ilmu alam, bahasa dan sastra, geografi dan sejarah. Islam
sebagai agama rahmatan lil alamin dan penuh toleransi mempersilakan
Barat untuk belajar dari ilmu-ilmu yang ada. Hingga pada akhirnya Barat
menikmati keilmuan itu dan mampu mengembangkannya. Barat pun disegani dengan
karya-karya yang dinikmati umat sedunia.
Untuk menghentikan kekuasaan Islam pada
masa Abbasiyah yang disebut sebagai “The Golden Age” bangsa Mongol melakukan invasi dengan kekuatan penuh. Selain
membunuh semua keturunan dari sang Khalifah yang saat itu adalah Al-Mu’tashim
kecuali satu saja yang masih kecil dijadikan budak, mereka pun menghanguskan
buku-buku dari perpustakaan Abbasiyah (Baitul Hikmah). Dalam sebuah kisah
disebutkan kavalerinya membuang buku-buku yang begitu banyaknya ke sungai
Tigris. Lalu dijadikannya jembatan penyebrangan dari arah Barat ke Timur. Bayangkan
jika luasnya sama hampir sama dengan Nil dengan kedalaman 10-11 meter. Betapa produktif
para ulama dan umat Islam pada masa Abbasiyah.
Namun,
tradisi keilmuan kini beralih, segala ilmu kini dikiblatkan ke barat sampai
ilmu agama Islam sekalipun. Ini bukan dalam rangka arabisasi, hingga kita harus
terus berkiblat ke Timur Tengah. Tapi ada orisinalitas ilmu yang harus
dipelajari tentang keislaman dari Timur Tengah, sebut saja Mesir, Madinah,
Sudan, Turki dsb. Tapi Islam tetap mebuka mata setiap ilmu kehidupan yang
bermanfaat untuk kehidupan manusia secara umum.
Karya sastra semacam novel, puisi, dongeng, romance kini dikuasai
Barat, kita menikmatinya dengan terjemahan. Begitupun dengan hasil penelitian
dan jurnal masih banyak bertumpu ke Barat. Padahal itu semua tradisi ulama kita.
Membaca, menulis, menganalisa, meneliti, melahirkan karya baru, memberikan
solusi. Tradisi literasi yang sudah lama diterapkan para ulama mampu
dimanfaatkan Barat untuk mengharumkan nama baik mereka, mereka berhasil
membangun kajian keilmuan, alat-alat canggih komunikasi, transportasi dan
kesehatan. Semua ilmu alam kini Barat menjadi rujukan.
Fenomena yang kita hadapi memang cukup sulit. Indonesia sebagai
mayoritas muslim terbesar di dunia misalnya, hanya menempati urutan 60 perihal minat
baca. Belum selesai di minat baca, daya baca kita pun sangat rendah. Artikel
yang perlu analisa dan panjang mereka tinggalkan. Informasi yang dituliskan
panjang tidak dibaca, akhirnya termakan hoax. Itupun belum sampai pada masalah
membaca yang berkualitas. Menurut Intan Savitri membaca yang berkualitas adalah
membaca dengan meresume atau menulis subtansi dari yang kita baca. Lalu
bagaimana kita melahirkan karya yang
baik, benar, layak, berpengaruh dan ternama?
Sedangkan dalam Islam tradisi literasi bukan sebatas memperluas kajian
keilmuan saja, tapi menguatkan kajian keimanan. Oleh karena itu, membangkitkan
peradaban Islam bisa dimulai dengan mengaktifkan kembali tradisi literasi yang
sejak lama kita tinggalkan. Dan mulai memahami
tradisi literasi adalah kebutuhan seorang muslim. Bukan minat atau bakat, tapi
keterampilan yang bisa semua orang pelajari. Pahami juga tradisi ini bukan cara
kita membangun gedung tertinggi, bukan membuat alat tercanggih, tapi tradisi
ini akan menguatkan keimanan, menajamkan logika, meningkatkan kepedulian,
melawan kebohongan. Ketika itulah kebangkitan peradaban sedang berlangsung.
Wallahua’lam bisshowab.
Komentar
Posting Komentar