...
Revitalisasi Peran Ulama
Untuk memahami definisi ulama, saya pribadi belum
banyak menemui definisi tetap terkait ulama. Yang paling mudah memaknai ulama
adalah dengan etimologi melalui suku kata bahasa Arab. Berasal dari kata ‘ilmu
berarti ilmu, sedangkan ‘alim berarti orang yang memiliki ilmu. Ulama
merupakan bentuk jama’ dari makna orang-orang yang berilmu. Namun
terlalu dini meyebut orang berilmu dengan ulama, sebab tidak semua orang
berilmu mencirikan sikap ulama.
Para ulama adalah sekelompok orang yang tekun
mendalami ajaran agama Allah (ta’ifah yatafaqqahuna fi ddin), yang
bepergian, mengembara atau merantau untuk mencari ilmu, supaya nantinya pulang
ke kampung masyarakat ke jalan Allah agar menjadi hamba-hamba Allah yang beriman dan beramal sholeh (liyundziru
qowmahum idza raja’u ilayhim la’allahum yahdzarun). (Syamsuddin Arif, 2017:
14)
Artinya ulama bukan sembarang orang berilmu. Dia
seorang yang beriman dan bertaqwa. Orang yang mendalam ilmunya seperti kata
al-Quran arrasikhuna fil ilm. Orang yang begitu kuat keyakinan dan
pemahamannya terhadap Islam, sehingga terpaan atau tekanan sehebat apapun tidak
akan membuatnya lengah dan lepas dari pada keimanan kepada Allah. Menurut Dr
Syamsuddin Arif, mereka diberikan oleh Allah ilmu eksternal maupun internal,
eksoteris maupun esoteris, sedemikian kuat dasarnya mengenai rahasia-rahasia
Syari’ah baik secara keilmuan dan perbuatan.
Dengan kekuatan pemahaman, keimanan dan taqwanya
peran ulama di kancah politik Indonesia sangat dibutuhkan. Posisinya akan
menempatkan politik sebagai alat atau sarana untuk semakin mendekatkan diri
kepada Allah dan memberikan maslahat untuk bersama tanpa pandang suku, ras,
etnies bahkan agama. Sebab Islam mengajarkannya untuk menjadi mansia bermanfaat
bagi sesama dan rahmatan lil ‘alamin.
Sebagai muslim, prinsip-prinsip tersebut sudah
menjadi keharusan bagi kehidupannya. Namun di era politik modern ini tidak
sedikit politikus yang beragama Islam tapi terlepas dari konsep Islam dalam
berpolitik. Seakan amnesia dengan etika dan akhlak saat berpolitik. Menganggap
ini sebagai kepentingan duniawi yang tidak ada sangkut pautnya dengan agama. Tidak
ada nilai ibadah dalam aktivitas politiknya. Bahkan berujung pada keberanian
melanggar norma dan nilai yang berlaku dan jauh dari moral.
Maka perlu ada ulama berperan aktif dalam politik
guna mengembalikan fungsi politik kepada hakikatnya dan menjadi contoh bagi politikus
dan pemerintah atas perannya sebagai ulil amri dan khodimul ummah. Dengan
demikian, penerapan etika atau akhlak dalam seluruh tata kehidupan, termasuk
kehidupan politik, merupakan bagian dari tuntutan agar kiprah berpolitik
memenuhi nilai ibadah. Di sisi lain, etika adalah nilai dan moral yang
menentukan kualitas dan kebermaknaan perilaku manusia dalam hidupnya. Atas dasar
itu dapat dikatakan bahwa etika politik mengandung makna bahwa politik dalam
tingkat aplikasi tidak boleh dilepaskan dari etika dan akhlak yang harus
diterapkannya. Bahkan politik, dalam seluruh dimensinya harus sejalan dengan
prinsip-prinsip ibadah. (Abu Ridha, 2018: 18)
Peran ulama juga perlu dikuatkan kembali dalam
ranah pemerintahan. Realitas politik kita memang belum bisa menjadikan ulama
sebagai presiden. Tapi perlu kiranya ulama ikut serta menjadi dewan
pertimbangan dalam sebuah pemerintahan, sehingga ulama menyumbang pemikirannya
atas segala kebijakan negara. Hal ini penting, karena kecenderungan penguasa
dimanapun untuk berlaku korup dan zalim, tidak sedikit ulama menjauh dari
penguasa karena praktik kotor yang harus dijauhkan dari ulama sebagai pentolan
agama. Namun ada juga kondisi dimana pemerintah menjauhkan ulama dari politik.
Anggapannya ulama cukup fokus menjadi guru ngaji dan tidak paham negara, atau karena
keberadaan ulama menguatkan isu politisasi agama.
Ulama yang karismatik, dipercaya masyarakat dan
menjadi teladan memiliki peran strategis di tengah masyarakat. Mereka lebih
tinggi posisinya di tengah masyarakat dibandingkan penguasa. Posisi penting
tersebut dikarenakan nasihat, saran dan masukan ulama akan selalu diperlukan
oleh pemimpin. Ibn Qutaybah dalam bukunya menegaskan bahwa ulama dan zuhhad
berada pada posisi dan peran yang sangat penting (pivotal actor) sebab
mereka menjadi penasihat para pemimpin dalam berbagai macam permasalahan. (Abil
Fida, 2018; 23)
Ulama dengan kedalaman akal dan hatinya akan jauh
dari sikap korup, zalim, adu domba, hasrat harta dan tahta. Ulama harus lebih
mementingkan persatuan, persaudaran dan masalahat negara. Di tengah kegaduhan
para politikus, kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat, ulama menjadi
penerus aspirasi sekaligus memberikan nasihat dengan kapasitasnya memahami
maslahat bersama –sesama manusia- dan berbagai hal yang harus diprioritaskan.
Jika pemerintah benar merasa ingin perbaikan dan menjaga kinerjanya untuk
kepentingan masyarakat, baik rasanya menyandingkan dirinya dengan ulama sebagai
penasihatnya. Hal ini sangat penting, apalagi melihat fenomena penistaan agama,
kriminalisasi ulama, diksriminasi terhadap agama dan kerukunan umat beragama sering terganggu hanya karena kebijakan
pemerintah yang mungkin tidak dikonsultasikan dengan pentolan agama-agama.
Kondisi pemerintahan yang sudah menyandingkan
ulama tentu memiliki kesempatan untuk menjadi lebih baik lagi. Namun saat ulama
dipisahkan dari politik tidak berarti diam melihat kezaliman terstruktur
melalui kebijakan yang penuh dengan kepentingan. Bagi ulama, membela kebenaran
adalah hal yang paling utama tanpa melihat siapa yang dibela dan apa yang akan
didapatkan. Menyampaikan kebenaran di depan penguasa adalah jihad bagi mereka.
Dalam hadits, “jihad paling utama ialah mengatakan kebenaran di hadapan
penguasa zalim” (HR Abu Daud).
Peran ulama dalam kancah perpolitikan Indonesia
sangat signifikan. Baik politik praktis maupu secara kultural. Melihat sistem
politik zaman modern yang sudah melenceng jauh dari nilai-nilai Islam, perlulah
pemerintah menempatkan ulama dalam peran vital sebuah negara. Tidak semua ulama
siap dengan politik praktis atau ter jun
langsung ke dalam partai politik. Namun ulama harus ikut serta dalam
perbincangan urusan masyarakat dan berkolaborasi dengan para ahli.
Sedangkan ulama yang sudah berkiprah dalam politik
praktis harus lebih berhati-hati dan menjadi qudwah hasanah dalam
perpolitikan Indonesia. Jangan sampai ada stigma, kalau ulama terjun dalam
politik praktis tidak lagi membawa ideologi Islam, melainkan ideologi
kepentingan politik semata. Stigma ini muncul sebab belakangan banyak
mengatasnamakan ulama dan Islam, lalu terjun dalam politik praktis namun
kebijakannya bertentangan dengan maslahat umat bahkan negara. Akhirnya muncul
istilah “politisasi agama”.
Dalam hal ini, kita memerlukan ulama seperti KH
Hasyim Asy’ari yang menolak masuk dalam lingkar kekuasaan namu memiliki
strategi politik yang matang. Tercatat di awal beliau tidak ikut serta HOS
Cokroaminoto dan H Agus Salim sebagai figur utama Sarekat Islam. Selalu
dibutuhkan ulama yang tidak terjun langsung ke politik praktis namun mampu
mendidik masyarakat untuk memahami dan menerapkan sistem politik Islam. Ulama
yang bersatu dengan kultur masyarakat bukan berarti tidak berpolitik, sejatinya
ia juga berpolitik, bahkan berpolitik tingkat tinggi. Ulama seperti ini disebut
juga “berpolitik untuk tidak berpolitik”. (Abil Fida, 2018; 27)
Epilog
Seperti ditulis Dr. Yusuf al-Qaradhawy, seorang
muslim adalah kepribadian politikus. Politik dan kekuasaan setali tiga uang,
tidak bisa dipisahkan. Maka kita harus memhami bahwa dalam perspektif Islam
politik atau kekuasaan harus dipandang sebagai amanah yang penunaiannya harus
dengan etika (akhlak). Karena amanah maka dalam penuaiannya ada syarat-syarat
tertentu. Al-Mawardi menyebut beberapa sifat penting sebagai syarat calon
pemimpin atau penguasa. Antara lain bersifat dan berlaku adil, kapasitas
intelektual, berwawasan luas, profesional, visi yang jelas, berani berjuang
untuk kepentingan rakyat. Dengan demikiran sifat-sifat terpuji melahirkan etika
atau akhlak politik yang harus dimiliki oleh politikus. (Abu Ridha, 2018: 21)
Selanjutnya, kondisi politik di Indonesia yang
carut marut dan jauh dari nilai-nilai
Islam ini harus segera dibenahi, salah satunya dengan revitalisasi peran ulama
dalam pemerintahan, partai politik maupun aktivitas politik lainnya yang
mengikat kepentingan masyarakat. Ulama jangan dijauhkan dari politik, sebab
politik merupakan bagian dari pada agama Islam. Dengan memahami bahwa ulama
sesungguhnya gambaran wajah Islam yang teduh, damai dan maslahat, bukankah
dengan begitu keberadaan ulama akan melahirkan perbaikan dalam politik?
Qaradhawy, Yusuf. 1997. Fiqh Negara.
Jakarta : Robbani Press.
Arif, Syamsuddin. 2018. Intelektual dan Ulama
Vis-A-Vis Penguasa. Majalah Islamia Volume XI (Ulama dan Politik).
Fida, IA. 2018. Ulama di Kancah Politik.
Majalah Islamia Volume XI (Ulama dan Politik).
Ridha, Abu. 2018. Politik Under Capacity:
Menemukan Politik Bermartabat di Zaman Edan. Solo : Era Adicitra
Intermedia.
Ishaq, MI. 2013. Fiqh Politik Hasan Al-Banna. Jakarta : Robbani
Press.
Komentar
Posting Komentar