Langsung ke konten utama

Kasus Terorisme: Permainan dalam Definisi



Jumat (15/3) Kabar mengejutkan kini muncul dari Christhruch, Selandia Baru. Media dipenuhi dengan berita penembakan yang 2 masjid di Christhruch, yaitu Al-Noor dan masjid lainnya di Linwood. Salah satu pelakunya telah dikonfirmasi bernama Brendon Tarrant, warga negara Australia. Namun, seperti yang sering kita amati, penggunaan istilah teroris selalu menimbulkan banyak pertanyaan. Pasalnya sejauh pemantauan, awal-awal berita ini muncul minim sekali media menyebutnya sebagai teroris. Baru setelah beberapa jam selanjutnya istilah teroris bermunculan di media berita.
Mungkin sebagian orang tidak mempermasalahkan istilah-istilah tersebut. Namun, psikologi masyarakat tergerak berdasarkan opini yang ada. Kita tidak perlu sepenuhnya meyakini ada dalang di balik semua kejadian atau isu konspirasinya. Sebab realita penggunaan beberapa istilah menimbulkan banyak kejanggalan. Termasuk makna teroris yang bisa saja disalahgunakan sebab definisinya yang ambigu dan syarat kepentingan. Hal ini wajar menjadi pertanyaan, karena definisi biasa menjadi standar utama dalam mengkategorikan kondisi. Definisi karet membuka peluang standar ganda dalam mendefinisikannya.
Melihat kasus Brendon Tarrant dkk di Selandia Baru, seperti dimuat banyak media, sebelumnya dia megungkap beberapa alasan melalui akun twitternya. Menurutnya, "Bahwa tidak ada tempat yang aman dan bebas dari imigrasi masal". Ungkapan sedikit rasis juga termuat dalam tweetnya, "kita harus memastikan keberadaan rakyat kita, dan masa depan untuk anak-anak kulit putih". Dia menyebut juga bahwa aksinya sebagai bentuk balas dendam atas terbunuhnya Ebba Akerlund seorang anak berumur 11 tahun saat teror Stockholm 2017.
Yang lebih menggemparkan adalah pernyataan senator Australia, Fraser Anning. "Penyebab pertumpahan darah sesungguhnya di jalanan Selandia Baru hari ini adalah program imigrasi yang memungkinkan kaum Muslim fanatik untuk bermigrasi ke Selandia Baru," tulisnya seperti dilansir media Telegraph. Beliau juga mengungkapkan bahwa kejadian di Christhruch menyoroti ketakutan yang berkembang dalam komunitasnya di Australia dan New Zealand atas meningkatnya keberadaan muslim. Tak pelak ungkapannya menuai kontroversi dan kecaman dari netizen.
Kita tidak sedang menyoroti kasus teror yang sadis dan tidak berpri kemanusiaan. Namun bagaimana mereka menempatkan muslim sebagai komunitas yang menakutkan dan seolah mengganggu keberadaaan masyarakat setempat. Beberapa kejadian teror di Eropa dan belahan dunia lainnnya yang menyudutkan muslim sebagai pelakunya mungkin saja menebarkan virus islamofobia yang cukup kuat. Sehingga kasus teror yang justru terjadi di tempat ibadah umat Islam dijadikan dalih teror yang terjadi. Atau mungkin saja disebabkan ucapan rasial dari Brendon tentang masa depan kulit putih disana. Kita tidak bisa menjudge terlalu dini.
Uniknya adalah bagaimana istilah teroris terlihat begitu sulit dilabelkan kepada pelaku yang notabene non-muslim. Kejadian ini sempat terjadi di Las Vegas saat kasus Stephen Paddock yang menewaskan lebih dari 50 orang. Terbukti sebagai pelaku dia hanya disebut sebagai penembak brutal. Alih-alih dilabeli teroris, Paddock justru diberitakan sudah menjadi muallaf. Seakan perlu identitas muslim untuk menunjukannya sebagai teroris. Begitupun dengan Brendon Tarrant, awal-awal media hanya menyebutnya pelaku penembakan. Seperti Al Jazeera News menyebutnya dengan gunmen dalam judul beritanya “Many Dead in New Zealand After Gunmen Attack Mosques”. Setelah beberapa jam kemudian, barulah beberapa media menyebutkan sebagai aksi teror atau teroris.
Soal penggunaan istilah ini memang jadi masalah lama, khususnya dalam dunia pemikiran. Bahkan dalam dunia pemikiran perang istilah punya peran khusus. Termasuk istilah teroris yang definisinya sangat ambigu dan mengganjal. Dalam KBBI misalnya, teror diartikan dengan “usaha menciptakan ketakutan, kengerian dan kekejaman oleh seseorang atau golongan”. Sedangkan terorisme dalam Wikipedia diartikan dengan puncak aksi kekerasan, “terrorism is the apex of violence”. Namun banyak kejadian kekerasan yang menimpa muslim Rohingya, muslim Uyghur atau mungkin Palestina tidak dibarengi dengan label teroris terhadap pelakunya. Sebaliknya, kasus teror bom dengan latar belakang pelaku muslim sangat cepat melabelinya teroris. Padahal dari sisi korban mungkin tak sebanyak Stephen Paddock di Las Vegas atau Brendon Tarrant di Christhrusch.
            Standar ganda definisi teror atau terorisme sudah dibincangkan sejak lama, termasuk Indonesia. Makna karet teroris jelas menumbuhkan banyak tanya. Membiarkannya seperti itu sama dengan menggantungkan siapa teroris kepad opini yang berkeliaran. Dengan cepatnya berita tersebar, maka media menjadi corong utama yang akan dimanfaatkan dalam hal ini. Sehingga medialah yang akan membentuk pemikiran masyarakat.
            Permainan definisi dalam dunia pemikiran memang kerap terjadi. Akmal Sjafril memisalkan dalam kasus sodomi yang dalam bahasa Inggris dulu pelaku homoseksual itu disebut sodomites atau kaum Sodom, konotasinya negatif dan terhina. Tapi semakin lama itu berubah menjadi homoseksual, seakan perilaku sodomi itu sesuatu yang alami. Karena kategorinya ada homoseksual dan heteroseksual sehingga istilahnya menjadi normal, dan berkurang negatifnya. Bahkan kita juga mendengar istilah gay. Dalam bahasa inggris gay artinya gembira. Disini kita bisa melihat perilaku asusila yang konotasinya negatif bahkan hina sedikit demi sedikit istilahnya bergeser menjadi normal bahkan positif.
            Dalam kasus definisi gender juga misalnya. Gender pada awalnya digunakan untuk merujuk kepada pembagian jenis kelamin, kata benda dalam grammatika bahasa Inggris. Kemudian seorang seksolog, Jhon Money, memperkenalkan istilah sex untuk merujuk kepada klasifikasi biologis laki-laki dan perempuan, dan memperkenalkan  istilah gender untuk merujuk kepada perbedaan perilaku berdasarkan jenis kelamin. Dengan usulannya istilah “gender” mengalami perubahan makna, dari jenis sex (jenis kelamin) kepada social role (peran social).[1]
            Masih banyak contoh lain yang bisa kita ambil hikmahnya. Tapi intinya, bagaimana kita memandang permainan istilah dan definisi ini sebagai sesuatu yang sangat penting. Sebab bahasa mampu merekayasa keadaan sehingga benar-benar terjadi. Jika kita membiarkan rekayasa yang tidak baik menjadi konsumsi masyrakat setiap hari. Maka semakin haris rekayasa tersebut akan menjadi sebuah kebenaran. Oleh sebab itu, permainan dalam definisi sangat perlu kita perhatikan. Sehingga mampu memahami konteks yang sesungguhnya antara istilah yang dipertontonkan dan definisi yang seharusnya.
Wallahu a’lam bisshowab.


[1] Henri Shalahuddin, buku Feminisme dan Kesetaraan Gender, hlm. 25

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yahya Sinwar dan Naluri Kepahlawanan Ja’far bin Abi Thalib

  Ja’far bin Abi Thalib turun ke medan perang dengan keberanian, meski ada pesan tak biasa dari Nabi Muhammad bagi pasukan Mu’tah. Zaid bin Haritsah wafat, Ja’far langsung mengamankan panji Islam, tanda Islam tidak tunduk pada banyaknya pasukan Romawi. Tangan kanannya terputus, Ja’far hanya peduli pada panji Islam agar terus berkibar. Kibaran panji Islam bukan soal simbol belaka, ada kobaran semangat yang akan mendorong tiga ribu umat Islam yang berjibaku. Giliran tangan kiri Ja’far yang ditebas, sisa tangannya bersusah payah menarik kembali panji Islam agar tetap berkibar. Ja’far wafat dalam kondisi yang mengenaskan, panji dilanjutkan oleh Ibnu Rawahah dan berujung kematian juga untu dirinya. Khalid bin Walid hadir memberi angina segar dan mampu mengusir ratusan ribu pasukan romawi dari Mu’tah. Ja’far merupakan sahabat yang memiliki kapasitas kelas kakap, kemampuan bernegosiasi di hadapan Raja Najasyi berhasil mengamankan puluhan umat Islam di Ethiopia. Saat berduel dengan ped...

Jaminan Dewasa bukan Usia

Masalah dewasa selalu menjadi persoalan di tengah kebingungan orang menentukan standar apa yang harus dipahami. Soal standar dewasa ini memang sangat relatif. Sulit mencari sudut pandang yang objektif, sebab ukuran dewasa seseorang sangat banyak pertimbangannya. Melihat dari sudut satu tidak menutup perbedaan yang terbentang dari sudut pandang satunya. Belum lagi dilihat dari banyak ilmu yang berbicara tentang seperti apa dewasa sebenarnya. Bahkan saat kita mengatakan “masyarakat indonesia belum terlalu dewasa menyikapi masalah” , justru pernyataan itu akan berbalik. Dewasa kah orang yang mengatakan masyarakat belum dewasa? Dalam mata hukum misalnya, secara umum  batas usia seorang dewasa adalah 21 tahun. Tapi dalam undang-undang lainnya menentukan batas usia yang berbeda dalam memandang kedewasaan. Menurut sebagian ahli menyebut batas awal dewasa adalah usia 18 tahun. Sedangkan hukum Islam menyebut seorang baligh adalah dengan ihtilam, tumbuhnya rambut kemaluan dan usia t...

Perempuan Menutup Aurat atau Lelaki Menahan Nafsu?

Polemik patriarki selalu jadi tema pembahasan para feminism. Ada sudut pandang lain yang menurut mereka lelaki terlalu spesial dari perempuan.  Salah satunya soal perintah perempuan harus menutup aurat, lalu dihubungkan dengan soal tindakan kriminal, pemerkosaan dan menjaga kehormatan. Feminism melihat bukan soal perempuan yang harus menutup aurat, tapi lelakilah yang harus menahan nafsu. Dari sinilah perseteruan dimulai! Menurut saya, tidak ada polemik yang perlu diperpanjang, entah siapa yang memulai, tapi pembahasan ini seharusnya selesai sejak kedua titah itu dituliskan. Jika dilanjutkan, akhirnya muncul ribuan pertanyaan. Kenapa perempuan harus bertanggung jawab atas nafsu lelaki? Kenapa perempuan yang harus jaga diri dari lelaki, bukan sebaliknya? Dari pihak lain akan bertanya juga dengan konteksnya.  Menutup aurat itu kewajiban bagi perempuan, begitu juga menahan nafsu wajib bagi lelaki. Ego masing-masing yang membuat perdebatan ini tidak ada endingnya. Ada satu perspek...