Langsung ke konten utama

Sensasi Baca Novel yang Sudah Difilmkan


Karya fiksi telah menjadi konsumsi banyak orang untuk memahami sebuah konsep, teori atau amanat yang terkandung di dalamnya. Keberadaannya mungkin sudah ada sejak awal manusia diciptakan. Pada zaman jahiliyah saja kedudukan penyair sangat tinggi. Seorang penyair sangat dihormati dan dianggap memiliki wibawa dan kebijaksanaan dalam memimpin masyarakat. Dan menjadi salah satu sebab mukjizat agung nan mulia yang diberikan kepada Muhammad saw adalah al-Quran dengan tingkatan syair yang tidak satupun manusia mampu menandinginya.

Makna fiksi itu sendiri sangat luas, jenisnya pun terus berkembang hingga sekarang. Sebut saja novel, bagi pecintanya novel selalu dikaitkan dengan kehidupan realitas. Entah hidup pembaca maupun hidup sekitarnya. Kini identitas novel bagus berbanding dengan divisualisasikannya ke dalam sebuah film. Saya pribadi tidak setuju menakar kualitas novel dengan film. Sebab novel punya nilai tersendiri dalam bentuk kata, frasa dan bahasanya. Novel menalar pesan dari sebuah bacaan, sedangkan film menalar dari sebuah gambar. Juga peminatnya punya kadar tersendiri, dibuktikan dengan semakin maraknya novel sekalipun dunia perfilman ikut meraup masa yang cukup banyak.

Tentang perfilman saya kira terlalu banyak polemik yang harus dibicarakan. Standar novel yang difilmkan, seperti apa intervensi sutradara memvisualisasikan novel ke dalam film, dan tentu kontroversi lainnnya yang sering terjadi saat novel difilmkan. Namun sudut pandang lain yang ingin saya ceritakan adalah tentang sensasi membaca novel yang sudah difilmkan, atau menonton filmnya terlebih dahulu lalu membaca novelnya, atau pernah membaca novelnya dan difilmkan lalu baca lagi novelnya.

Di antara kalian pasti pernah juga kan?

Saya bukan pecinta novel, total novel yang tuntas dibaca bisa dihtung jari. Namun setelah saya mempelajari sastra dari berbagai perspektif dan sudut pandang, ternyata sangat menarik. Seakan mendapat pencerahan dari teman-teman FLP khususnya di kelas Madya FLP Jabar (Taman Penulis). Materi demi materi saya ikuti, perihal sastra ini terus dibahas dan semakin mendalam memancing otak saya untuk berpikir dan merangsang diri untuk ikut merasakan betapa hebatnya para sastrawan. Mulailah dari sana bertekad untuk menempa diri dengan bacaan-bacaan fiksi khususnya novel.

Karena bisa dihitung sangat terlambat untuk melahap novel-novel familiar di Indonesia, akhirnya saya menemukan fenomena yang unik saat harus membaca novel-novel yang sudah difilmkan. Ada hal yang beda saat harus membaca novel yang sudah pernah kita nikmati visualisasinya dalam bentuk layar lebar. Membaca novel jadi lebih bergairah, sebab kita langsung mampu memvisualisasikannya dalam pikiran, menggambarkan rangkaian kata demi kata menjadi nyata. Dan saya rasa poin inilah yang menjadi nilai terbesar dari sebuah novel, dimana pembaca tergiur untuk terus membaca hingga mendapat gambaran yang utuh dan mendapat amanat dari visualisasinya.

Oleh karena itu, saya pribadi menyimpulkan membaca novel yang sudah pernah kita nikmati filmnya adalah salah satu langkah awal bagi pembaca pemula untuk bisa merasakannya nikmatnya membaca sebuah novel. Sebab banyak orang berhenti di awal bacaan novelnya hanya karena bosan. Rasa bosan hadir karena tidak mampu memvisualisasikan bacaan ke dalam bentuk pikiran yang jika difilmkan justru lebih menarik. Dengan kata lain saya simpulkan, lemahnya baca novel berbanding lurus dengan kemampuan seseorang berimajinasi. Maka membaca novel salah satu cara menguatkan daya imajinasi kita.

Dengan membaca kita diberi kesempatan untuk berpikir, berimajinasi sehingga mendapat pesan dari sebuah bacaan. Sejatinya manusia memiliki kemampuan ini, sebab setiap manusia memiliki saya nalar untuk sebuah kebaikan bagi dirinya. Begitu fitrahnya. Tapi tidak semua mau memaksa dirinya untuk membaca, yang berimbas pada lemahnya berpikir dan berimajinasi. Oleh karena itu, cobalah kejadian unik yang saya alami. Rasakan sensasinya membaca novel yang sudah difilmkan, pasti ketagihan. Setelah itu otak kita akan berhasrat membaca lagi tanpa perlu lagi film untuk memvisualisasikannya. Sebab kita mampu berimajinasi dari kata demi kata seakan menjadi nyata.


Selamat membaca.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yahya Sinwar dan Naluri Kepahlawanan Ja’far bin Abi Thalib

  Ja’far bin Abi Thalib turun ke medan perang dengan keberanian, meski ada pesan tak biasa dari Nabi Muhammad bagi pasukan Mu’tah. Zaid bin Haritsah wafat, Ja’far langsung mengamankan panji Islam, tanda Islam tidak tunduk pada banyaknya pasukan Romawi. Tangan kanannya terputus, Ja’far hanya peduli pada panji Islam agar terus berkibar. Kibaran panji Islam bukan soal simbol belaka, ada kobaran semangat yang akan mendorong tiga ribu umat Islam yang berjibaku. Giliran tangan kiri Ja’far yang ditebas, sisa tangannya bersusah payah menarik kembali panji Islam agar tetap berkibar. Ja’far wafat dalam kondisi yang mengenaskan, panji dilanjutkan oleh Ibnu Rawahah dan berujung kematian juga untu dirinya. Khalid bin Walid hadir memberi angina segar dan mampu mengusir ratusan ribu pasukan romawi dari Mu’tah. Ja’far merupakan sahabat yang memiliki kapasitas kelas kakap, kemampuan bernegosiasi di hadapan Raja Najasyi berhasil mengamankan puluhan umat Islam di Ethiopia. Saat berduel dengan ped...

Jaminan Dewasa bukan Usia

Masalah dewasa selalu menjadi persoalan di tengah kebingungan orang menentukan standar apa yang harus dipahami. Soal standar dewasa ini memang sangat relatif. Sulit mencari sudut pandang yang objektif, sebab ukuran dewasa seseorang sangat banyak pertimbangannya. Melihat dari sudut satu tidak menutup perbedaan yang terbentang dari sudut pandang satunya. Belum lagi dilihat dari banyak ilmu yang berbicara tentang seperti apa dewasa sebenarnya. Bahkan saat kita mengatakan “masyarakat indonesia belum terlalu dewasa menyikapi masalah” , justru pernyataan itu akan berbalik. Dewasa kah orang yang mengatakan masyarakat belum dewasa? Dalam mata hukum misalnya, secara umum  batas usia seorang dewasa adalah 21 tahun. Tapi dalam undang-undang lainnya menentukan batas usia yang berbeda dalam memandang kedewasaan. Menurut sebagian ahli menyebut batas awal dewasa adalah usia 18 tahun. Sedangkan hukum Islam menyebut seorang baligh adalah dengan ihtilam, tumbuhnya rambut kemaluan dan usia t...

Perempuan Menutup Aurat atau Lelaki Menahan Nafsu?

Polemik patriarki selalu jadi tema pembahasan para feminism. Ada sudut pandang lain yang menurut mereka lelaki terlalu spesial dari perempuan.  Salah satunya soal perintah perempuan harus menutup aurat, lalu dihubungkan dengan soal tindakan kriminal, pemerkosaan dan menjaga kehormatan. Feminism melihat bukan soal perempuan yang harus menutup aurat, tapi lelakilah yang harus menahan nafsu. Dari sinilah perseteruan dimulai! Menurut saya, tidak ada polemik yang perlu diperpanjang, entah siapa yang memulai, tapi pembahasan ini seharusnya selesai sejak kedua titah itu dituliskan. Jika dilanjutkan, akhirnya muncul ribuan pertanyaan. Kenapa perempuan harus bertanggung jawab atas nafsu lelaki? Kenapa perempuan yang harus jaga diri dari lelaki, bukan sebaliknya? Dari pihak lain akan bertanya juga dengan konteksnya.  Menutup aurat itu kewajiban bagi perempuan, begitu juga menahan nafsu wajib bagi lelaki. Ego masing-masing yang membuat perdebatan ini tidak ada endingnya. Ada satu perspek...