Langsung ke konten utama

Pemuda Ibarat Pion


Seringkali kehidupan manusia dianalogikan ke dalam suatu hal. Kemiripan polanya, retorika bahkan corak dengan kesamaan pada satu titik saja banyak orang menganalogikannya. Catur merupakan olahraga otak yang sering dianalogikan sebagai gambaran sebuah kerajaan. Permainannya berkisar tentang strategi menyerang dan bertahan. Setiap langkah sangat menentukan, kapan menyantap umpan, kapan memancing lawan. Ada waktunya menjaga raja, ada waktunya mengorbankan pion. Dengan segala kemampuan yang dimiliki, seakan catur merealisasikan kehidupan yang seharusnya.

Suatu kelompok sosial sudah sewajarnya diisi oleh beragam latar belakang individu yang berbeda. Dari keragaman itu terdapat level usia yang beragam pula. Dari segala bentuk perbedaan itulah komunitas manusia terbentuk. Perbedaan itu menjadi tugas itu sendiri dengan kelebihan dan kekurangan yang dimiliki. Sebagai ayah dan ibu mereka memiliki tugasnya sendiri, sebagai guru memiliki tugas juga, sebagai orangtua punya tugasnya sendiri, begitupun bagi pemuda mereka punya tugasnya. Tugas disini dalam artian tugas khusus yang sulit diwakilkan kepada selain pemeran seharusnya.

Berbicara pemuda sebagai individu dari sebuah kelompok sosial, maka pemuda punya peranan khusus yang diembannya. Sama halnya dengan catur yang memiliki banyak bidak namun memiliki tugasnya masing-masing. Pemuda adalah masa awal bagi orang dewasa dan tua, namun dipandangnya terlalu dini untuk ikut bersama beban orang tua, namun cukup layak dibandingkan anak-anak. Seperti peran pion dalam catur yang sering dilupakan. Begitulah pemuda kadang dipandang belum layak sejajar dalam mengemban tugas-tugas yang ada. Padahal pemuda adalah masa tertentu yang punya tugas tertentu. Bahkan tugasnya belum tentu dituntaskan oleh orang tua sekalipun.

Dalam catur pemuda bisa diibaratkan seperti pion, kenapa? Ada beberapa kesamaan antara pion dalam catur dan pemud. Pertama, dalam komunitas masyarakat pemuda dianggap kecil dihadapan peran yang seharusnya. Sama dengan pion yang sering dianggap remeh oleh lawannya. Pion seorang diri tidak akan pernah berdaya, seberani apapun saat melangkah terus tanpa tanpa back up yang kuat pion hanyalah santapan lezat untuk lawannya. Itulah kenapa pion dianggap lemah, sebab dihadapan bidak lainnya pion tidak berarti. Pemuda pun sering dianggap tidak berarti di tengah masyarakat. Alih-alih menebar manfaat, justru menyebarkan virus negatif dan membuat kegelisahan di mata masyarakat. Tanpa memandang peran seharusnya, pemuda dianggap angan dan harapan yang keberadaannya dan tidak keberadaannya sama saja.

Kedua, teguh saat bersatu. Dalam catur pion bukan paling kuat, namun saat bersatu (dengan pion lainnya) mereka menyempurnakan strategi, menutup ruang gerak lawan,  bahkan diujung perjalanan pion dapat beregenerasi menjadi menteri yang punya kekuatan besar. Saat bersatu pemuda pun sebenarnya mampu menuntaskan tugas-tugas utama mereka. Tidak jarang pemuda menggantikan orang tua dalam banyak peran.

Ketiga, pantang  mundur. Yang menjadi karakter pemuda pada sebuah urusan adalah pantang mundur sebelum tuntas. Pribadi yang agresif, atraktif, daya juang tinggi, dan segala keunggulannya melahirkan rasa gengsi bagi pemuda untuk mundur sebelum tugasnya selesai. Begitu pun pion dalam catur, dia tidak pernah mundur walaupun selangkah. Dengan penuh perhitungan pion melangkah ke depan, dari hitam ke putih dan hitam lagi. Pion rela mengorbankan nyawa demi sebuah strategi, menahan dirinya untuk melindungi sang raja, lebih baik mati dalam keadaan menyerang dari pada hidup ditelan gengsi.


Analogi ini tentu bukan sesungguhnya, sebab hakikat pemuda tentu lebih dari pada sekedar pion dalam catur. Standar pemuda jelas lebih tinggi, kehidupan pemuda lebih kompleks, urusan pemuda lebih nyata, tidak bisa aktor pion dalam catur disamakan dengan pemuda. Namun, justru standar pion adalah standar terendah bagi seorang pemuda. Tentu pemuda masih mungkin menignkatkan kapasitasnya, menguatkan karakternya lebih dari pada pion catur semata.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yahya Sinwar dan Naluri Kepahlawanan Ja’far bin Abi Thalib

  Ja’far bin Abi Thalib turun ke medan perang dengan keberanian, meski ada pesan tak biasa dari Nabi Muhammad bagi pasukan Mu’tah. Zaid bin Haritsah wafat, Ja’far langsung mengamankan panji Islam, tanda Islam tidak tunduk pada banyaknya pasukan Romawi. Tangan kanannya terputus, Ja’far hanya peduli pada panji Islam agar terus berkibar. Kibaran panji Islam bukan soal simbol belaka, ada kobaran semangat yang akan mendorong tiga ribu umat Islam yang berjibaku. Giliran tangan kiri Ja’far yang ditebas, sisa tangannya bersusah payah menarik kembali panji Islam agar tetap berkibar. Ja’far wafat dalam kondisi yang mengenaskan, panji dilanjutkan oleh Ibnu Rawahah dan berujung kematian juga untu dirinya. Khalid bin Walid hadir memberi angina segar dan mampu mengusir ratusan ribu pasukan romawi dari Mu’tah. Ja’far merupakan sahabat yang memiliki kapasitas kelas kakap, kemampuan bernegosiasi di hadapan Raja Najasyi berhasil mengamankan puluhan umat Islam di Ethiopia. Saat berduel dengan ped...

Jaminan Dewasa bukan Usia

Masalah dewasa selalu menjadi persoalan di tengah kebingungan orang menentukan standar apa yang harus dipahami. Soal standar dewasa ini memang sangat relatif. Sulit mencari sudut pandang yang objektif, sebab ukuran dewasa seseorang sangat banyak pertimbangannya. Melihat dari sudut satu tidak menutup perbedaan yang terbentang dari sudut pandang satunya. Belum lagi dilihat dari banyak ilmu yang berbicara tentang seperti apa dewasa sebenarnya. Bahkan saat kita mengatakan “masyarakat indonesia belum terlalu dewasa menyikapi masalah” , justru pernyataan itu akan berbalik. Dewasa kah orang yang mengatakan masyarakat belum dewasa? Dalam mata hukum misalnya, secara umum  batas usia seorang dewasa adalah 21 tahun. Tapi dalam undang-undang lainnya menentukan batas usia yang berbeda dalam memandang kedewasaan. Menurut sebagian ahli menyebut batas awal dewasa adalah usia 18 tahun. Sedangkan hukum Islam menyebut seorang baligh adalah dengan ihtilam, tumbuhnya rambut kemaluan dan usia t...

Perempuan Menutup Aurat atau Lelaki Menahan Nafsu?

Polemik patriarki selalu jadi tema pembahasan para feminism. Ada sudut pandang lain yang menurut mereka lelaki terlalu spesial dari perempuan.  Salah satunya soal perintah perempuan harus menutup aurat, lalu dihubungkan dengan soal tindakan kriminal, pemerkosaan dan menjaga kehormatan. Feminism melihat bukan soal perempuan yang harus menutup aurat, tapi lelakilah yang harus menahan nafsu. Dari sinilah perseteruan dimulai! Menurut saya, tidak ada polemik yang perlu diperpanjang, entah siapa yang memulai, tapi pembahasan ini seharusnya selesai sejak kedua titah itu dituliskan. Jika dilanjutkan, akhirnya muncul ribuan pertanyaan. Kenapa perempuan harus bertanggung jawab atas nafsu lelaki? Kenapa perempuan yang harus jaga diri dari lelaki, bukan sebaliknya? Dari pihak lain akan bertanya juga dengan konteksnya.  Menutup aurat itu kewajiban bagi perempuan, begitu juga menahan nafsu wajib bagi lelaki. Ego masing-masing yang membuat perdebatan ini tidak ada endingnya. Ada satu perspek...