Langsung ke konten utama

Dakwah dan Fitrah Manusia


Secara prinsip manusia benci permusuhan dan pertikaian. Relung hatinya akan terpanggil untuk mencari ketenangan dan kebahagiaan. Sebab pada dasarnya Allah menanamkan rasa pada manusia untuk mencintai saudaranya, saling kasih sayang, dan saling berbagi. Lalu merekapun membentuk komunitas, kumpulan orang-orang yang terhubung dengan apa yang dimiliki dan dipahami. Poin ini yang harus kita cermati, bahwa manusia hakikatnya kembali kepada fitrah itu sendiri. Dan fitrah pula yang mengantarkannya.

Kembali fitrah adalah kembali pada kebaikan. Kembali fitrah bukan ucapan dengan lisan saja, tapi kesadaran akan usaha yang perlu dilakukan untuk menggapainya atau menghindarkan diri dari penyesatannya. Fenomena transgender, emansipasi wanita, korupsi dan segala kedurhakaan yang merugikan masyarakat adalah bukti penyimpangan dari pada fitrah. Penyimpangan yang terjadi karena tidak mengingat janjinya sebagai manusia kepada Allah swt, bahwa sudah bersaksi mengikuti perintah-Nya. Karena banyak bermaksiat kepada Allah swt dan tidak menggunakan akalnya dengan baik.

Seorang muslim yang bersebrangan dengan ideologi agamanya atau merasa semakin jauh dari Rabb-nya sebenarnya sedang berhadapan dengan dua hal yang harus dituntaskan untuk mencapai kebahagiaan. Tentang ketenangan, kenyamanan hati, ketentraman jiwa hanya individu yang tahu. Namun, dirinya tidak bisa berbohong bahwa kondisi hati dan jiwanya tidak pernah tenang kala harus berjauhan dari Rabb-nya. Kalaupun kehidupannya, hartanya mampu mengganti kedekatan dengan Rabb-nya, mungkin ada tembok yang cukup tebal untuk menembus relung hati yang pada akhirnya tembok itu akan jebol sedikit demi sedikit dijamah dakwah.

Memahami banyak ilmu tidak menjamin manusia berjalan dalam suasana kebajikan. Selama tidak ada kemauan untuk mejadi lebih baik, kita akan tetap berada pada kejahilan itu. Itu sebabnya fitrah lah yang akan meluruskan lajur hidup manusia. Dia mengantarkan manusia saat berada dalam kebingungan dan ketidak tahuan atas apa yang harus dilakukannya. Dakwah Rasulullah kepada para assabiwunal awwalun dilakukan saat ayat-ayat ilmiah belum banyak diturunkan. Fitrahnya sebagai manusia mengarahkannya kepada Sang Pencipta. Fitrahnya menggebu melahirkan semangat membela Muhammad saw.

Mereka yang semakin menua sering diidentikan lebih giat beribadah, lebih dekat dengan Tuhannya. Hal ini tidak lepas dari setiap pribadi manusia yang mulai sadar bahwa ketenangan dan kebahagiaan ada pada kedekatannya diri dengan Rabb-nya. Inilat fitrah manusia yang hakikatnya mengembalikan kepada jalur yang sesungguhnya. Sebenarnya sejak dini fitrah sudah seharusnya dirasakan dan dipahami, namun banyak orang merasa berat melangkah ke arah yang ditujukan oleh hati nuraninya. Sebab itu, tobat seseorang sering diidentikan dengan umur yang renta. Ini terjadi karena keterlambatan manusia menanggapi indikator-indikator pesan dari fitrahnya sebagai manusia.

Realita para penyihir Firaun yang harus melihat kekuasaan Allah swt menenggelamkan mereka dan manusia yang mereka anggap Tuhan akhirnya tunduk pada Allah swt Tuhan Nabi Musa. Mereka tersadar, mereka tergugah bahwa Tuhan sesungguhnya adalah Allah swt bukan Firaun. Namun dalam kondisi terhimpit itu mereka melihat kedamaian dengan meyakini bahwa Allah swt adalah Tuhan yang Esa. Fitrah manusia memberikan pencerahan kepada kebenaran yang hakiki bahwa Allah Tuhan kami, Islam agama kami dan Muhammad utusan-Nya. Karena fitrah mengantarkan kemana seharusnya dia bersujud dan memohon. Kalau bukan karena fitrah, tidaklah kaum Firaun menyadari bahwa Allah swt Tuhan mereka.

Oleh karena itu, berdakwah itu sendiri adalah fitrah. Setiap manusia adalah dai, dan ketenangan, kesejahteraan, kedamaian yang diraihnya ingin juga dirasakan oleh saudara-saudara sesama manusia. Karena hakikat manusia melihat sekelilingnya bahagia. Berdakwah jangan dianggap langkah muhal yang kita lakukan, sebab perjalanannya selaras dengan fitrah setiap objek dakwah. Hanya waktu yang kita tungguh. Sebab hidayah Allah akan turun, dan hidayah harus dijemput maka dakwah menjadi sarana menuju kesadaran fitrah dan keberadaan hidayah dalam hati manusia.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yahya Sinwar dan Naluri Kepahlawanan Ja’far bin Abi Thalib

  Ja’far bin Abi Thalib turun ke medan perang dengan keberanian, meski ada pesan tak biasa dari Nabi Muhammad bagi pasukan Mu’tah. Zaid bin Haritsah wafat, Ja’far langsung mengamankan panji Islam, tanda Islam tidak tunduk pada banyaknya pasukan Romawi. Tangan kanannya terputus, Ja’far hanya peduli pada panji Islam agar terus berkibar. Kibaran panji Islam bukan soal simbol belaka, ada kobaran semangat yang akan mendorong tiga ribu umat Islam yang berjibaku. Giliran tangan kiri Ja’far yang ditebas, sisa tangannya bersusah payah menarik kembali panji Islam agar tetap berkibar. Ja’far wafat dalam kondisi yang mengenaskan, panji dilanjutkan oleh Ibnu Rawahah dan berujung kematian juga untu dirinya. Khalid bin Walid hadir memberi angina segar dan mampu mengusir ratusan ribu pasukan romawi dari Mu’tah. Ja’far merupakan sahabat yang memiliki kapasitas kelas kakap, kemampuan bernegosiasi di hadapan Raja Najasyi berhasil mengamankan puluhan umat Islam di Ethiopia. Saat berduel dengan ped...

Jaminan Dewasa bukan Usia

Masalah dewasa selalu menjadi persoalan di tengah kebingungan orang menentukan standar apa yang harus dipahami. Soal standar dewasa ini memang sangat relatif. Sulit mencari sudut pandang yang objektif, sebab ukuran dewasa seseorang sangat banyak pertimbangannya. Melihat dari sudut satu tidak menutup perbedaan yang terbentang dari sudut pandang satunya. Belum lagi dilihat dari banyak ilmu yang berbicara tentang seperti apa dewasa sebenarnya. Bahkan saat kita mengatakan “masyarakat indonesia belum terlalu dewasa menyikapi masalah” , justru pernyataan itu akan berbalik. Dewasa kah orang yang mengatakan masyarakat belum dewasa? Dalam mata hukum misalnya, secara umum  batas usia seorang dewasa adalah 21 tahun. Tapi dalam undang-undang lainnya menentukan batas usia yang berbeda dalam memandang kedewasaan. Menurut sebagian ahli menyebut batas awal dewasa adalah usia 18 tahun. Sedangkan hukum Islam menyebut seorang baligh adalah dengan ihtilam, tumbuhnya rambut kemaluan dan usia t...

Perempuan Menutup Aurat atau Lelaki Menahan Nafsu?

Polemik patriarki selalu jadi tema pembahasan para feminism. Ada sudut pandang lain yang menurut mereka lelaki terlalu spesial dari perempuan.  Salah satunya soal perintah perempuan harus menutup aurat, lalu dihubungkan dengan soal tindakan kriminal, pemerkosaan dan menjaga kehormatan. Feminism melihat bukan soal perempuan yang harus menutup aurat, tapi lelakilah yang harus menahan nafsu. Dari sinilah perseteruan dimulai! Menurut saya, tidak ada polemik yang perlu diperpanjang, entah siapa yang memulai, tapi pembahasan ini seharusnya selesai sejak kedua titah itu dituliskan. Jika dilanjutkan, akhirnya muncul ribuan pertanyaan. Kenapa perempuan harus bertanggung jawab atas nafsu lelaki? Kenapa perempuan yang harus jaga diri dari lelaki, bukan sebaliknya? Dari pihak lain akan bertanya juga dengan konteksnya.  Menutup aurat itu kewajiban bagi perempuan, begitu juga menahan nafsu wajib bagi lelaki. Ego masing-masing yang membuat perdebatan ini tidak ada endingnya. Ada satu perspek...