Langsung ke konten utama

Polisi Itu Baik


Beberapa hari sebelum hari raya idul fitri 1438 H saya pergi mengelilingi kota Tasikmalaya. Jalan sangat padat dan macet. Jalan-jalan dan trotoar dipenuhi orang-orang yang belanja uuntuk hari raya. Dan di setiap perempatan polisi dan tentara berjaga mengawal dan mengamankan. Namun, mendekati maghrib awan mulai mendung, beberapa titik sudah mulai hujan terlihat dari mobil lewat yang basah dan pengendara motor yang sudah memakai mantel.

Dan hujan pun turun, tapi polisi dan tentara masih tegak berjaga di setiap perempatan jalan. Bahkan hingga waktu berbuka sudah tiba. Ketika itu saya bertanya pada diri sendiri, “Dalam pengorbanannya, adakah orang-orang sekitar yang mempedulikannya?”. Waktu berbuka sudah tiba, dan tidak ada keluarga di sekitarnya, siapa yang memberinya makan? Berilah mereka beberapa butir kurma.

Merekalah abdi negara.

Di tengah tugas berat yang membebaninya, mereka cukup tegar ketika dihadapkan dengan masalah-masalah yang memancing amarah. Tentu saya membandingkannya dengan diri saya sendiri. Saat mengamankan jalan, motor misalnya masih saja ada yang nakal mengganggu. “kalo saya jadi polisi, mungkin saya sudah marah dan akan sering 
marah".

Tanpa melihat sisi gelap yang beritanya sering bertebaran di ranah kita. Atau desus buruk tentang cara masuknya, atau  isu negatif lainnya yang berserakan. Namun, tetap 
saya katakan bahwa tentara itu baik, polisi itu baik.

Fahri Hamzah sering mengatakan akan menyelesaikan korupsi tanpa KPK. Lalu dengan apa. Dengan aparat polisi yang jumlahnya ribuan. Dan dia sangat yakin bisa. Namun di sisi lain Wakil DPR RI ini juga sering mengkritik kepolisian. Artinya secara keseluruhan polisi itu baik, dan ada beberapa hal yang harus diperbaiki.

Pertanyaannya adalah mengapa banyak masyarakat di Indonesia hanya memandang polisi itu tidak baik. Menjadikannya bahan gunjingan padahal dia berjuang untuk kita. Polisi bertugas mengayomi masyarakat, di saat yang sama masyarakat menganggap polisi sekelompok yang tidak baik. Bagaimana mungkin ini terjadi. Seperti kita dilindungi oleh Tuhan, tapi sama sekali kita tidak percaya dengan Tuhan, bahkan mengolok-olokNya.

Jika ini terjadi karena kita kena tilang, maka kita sangat tidak bijak, karena penilangan adalah tugas. Jika ini terjadi karena kita rakyat sering berlawanan ketika demo, itu juga kekanakan, karena polisi juga bertugas mengamankan dan tidak mungkin polisi membiarkan kericuhan. Jika ini terjadi karena polisi menyegel rumah-rumah atau menangkap sanak keluarga kita, itu kita tidak jujur, karena rumah disegel sebab pajak atau hutang. Jika ini terjadi karena alasan media, maka kita harus lebih tabayun dalam menelan wejangan media. Jika ini terjadi karena kita melihat kejanggalan pada beberapa polisi, maka inilah yang akan kita bicarakan.

Inilah yang kita sebut dengan OKNUM. Pertama, oknum adalah perorangan, maka kesalahan yang ada harus kita nilai dengan perorangannya. Ibarat seorang muslim membunuh, dan tidak bisa kita katakana bahwa Islam agama kekerasan, boleh jadi dia Islam KTP, boleh jadi samaran atau kurang dalam memahami Islam. Maka dalam hal ini yang kita lihat adalah personalnya bukan agamanya (meskipun terkadang negeri kita sering membolak-balikannya). Kedua, oknum dipenuhi dengan ketidak sadaran diri. Karena dia melakukan kejahatan dengan menatasnamakan kebaikan. Bagi Islam dalam Q.S al-Baqarah : 42 tidak boleh kebaikan dan kebathilan dicampuradukan. Jika kebathilan diatasnamakan dengan kebaikan, maka nama itu adalah kepalsuan.

Nah, dan dari sinilah hubungan antara polisi dengan masyarakat retak. Problemnya adalah 1. Image polisis jadi negatif. Ada kebijakan dari institusi keluar, dan oknum memiliki kekuasaan untuk melakukannya. Jika kebijakan yang keluar merugikan kubu tertentu, maka Image negatif akan melekat pada kepolisian bukan oknum tertentu. Karena begitulah pemahaman masyarakat awwam di Indonesia. Terlebih jika oknum yang ada tidak bermain rapih lagi. Seperti yang belakangan disodorkan di media.

Mengapa dimulai dari berita di media tentang kebijakan polisi (yang janggal), banyak masyarakat menyangkalnya dan ricuh? Karena permainan oknum sudah tidak rapih lagi, sehingga kebijakannya yang kurang tepat banyak dipahami mulai dari kalangan menengah secara pemahaman (seperti mahasiswa) sehingga menimbulkan kericuhan dari kalangan bawah (yang kurang memahami) dan Image negatif terhadap kepolisian. Mungkin masih banyak lagi contohnya jika kita memperhatikan percakapan para peneliti, pemerhati dan aktivis hukum di acara sejenis ILC atau berita lainnya.

2. Polisi selalu dianggap negatif. Karena kejadian diatas, dampaknya seluruh polisi akan dianggap salah, jelek, tidak baik. Polisi yang menjalankan perintah dengan baik dan struktural tetap dianggap sama oleh masyarakat. Padahal merekalah yang mengayomi dan menjaga masyarakat. Tanpa tanda jasa mereka memberikan bantuan kepada masyarakat. Polisi tidak menikmati apa yang masyarakat nikmati. Liburan hari raya, kita libur dan polisi berjaga. Liburan tahun baru, kita libur dan polisi berjaga. Terkadang ketika kita tidur, maka polisi yang berjaga.

Disinilah saya merasa iba, sedih, kesal dan bingung. Tidak ada yang peduli atas apa yang dirasakan oleh polisi, sehingga kita cenderung menganggapnya musuh. Kita menganggap mereka kaya, sombong dan jahat. Tapi kita tidak pernah melihat mereka ketika capek, berkeringat dan lelah. Sebagian dari mereka muslim, mengapa kita memperlakukannya seperti kepada muslim lainnya. Mereka semua warga negara Indonesia, mengapa kita tidak menyikapinya sebagaimana kita kepada rekan senegara. 
Kenapa? Kenapa?

Polisi itu baik, dan oknum yang harus bertanggung jawab.


Tulisan ini hanya pendapat pribadi, dan merupakan hasil dari pemikiran yang terkumpul dari alasan pandangan negatif masyarakat yang saya temui. Jika ditemukan tentunya itu dari kekurangan saya, adapun lainnya semoga menjadi bahan renungan untuk masyarakat yang selalu menganggap polisi tidak baik, dan renungan bagi oknum-oknum yang ada. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yahya Sinwar dan Naluri Kepahlawanan Ja’far bin Abi Thalib

  Ja’far bin Abi Thalib turun ke medan perang dengan keberanian, meski ada pesan tak biasa dari Nabi Muhammad bagi pasukan Mu’tah. Zaid bin Haritsah wafat, Ja’far langsung mengamankan panji Islam, tanda Islam tidak tunduk pada banyaknya pasukan Romawi. Tangan kanannya terputus, Ja’far hanya peduli pada panji Islam agar terus berkibar. Kibaran panji Islam bukan soal simbol belaka, ada kobaran semangat yang akan mendorong tiga ribu umat Islam yang berjibaku. Giliran tangan kiri Ja’far yang ditebas, sisa tangannya bersusah payah menarik kembali panji Islam agar tetap berkibar. Ja’far wafat dalam kondisi yang mengenaskan, panji dilanjutkan oleh Ibnu Rawahah dan berujung kematian juga untu dirinya. Khalid bin Walid hadir memberi angina segar dan mampu mengusir ratusan ribu pasukan romawi dari Mu’tah. Ja’far merupakan sahabat yang memiliki kapasitas kelas kakap, kemampuan bernegosiasi di hadapan Raja Najasyi berhasil mengamankan puluhan umat Islam di Ethiopia. Saat berduel dengan ped...

Jaminan Dewasa bukan Usia

Masalah dewasa selalu menjadi persoalan di tengah kebingungan orang menentukan standar apa yang harus dipahami. Soal standar dewasa ini memang sangat relatif. Sulit mencari sudut pandang yang objektif, sebab ukuran dewasa seseorang sangat banyak pertimbangannya. Melihat dari sudut satu tidak menutup perbedaan yang terbentang dari sudut pandang satunya. Belum lagi dilihat dari banyak ilmu yang berbicara tentang seperti apa dewasa sebenarnya. Bahkan saat kita mengatakan “masyarakat indonesia belum terlalu dewasa menyikapi masalah” , justru pernyataan itu akan berbalik. Dewasa kah orang yang mengatakan masyarakat belum dewasa? Dalam mata hukum misalnya, secara umum  batas usia seorang dewasa adalah 21 tahun. Tapi dalam undang-undang lainnya menentukan batas usia yang berbeda dalam memandang kedewasaan. Menurut sebagian ahli menyebut batas awal dewasa adalah usia 18 tahun. Sedangkan hukum Islam menyebut seorang baligh adalah dengan ihtilam, tumbuhnya rambut kemaluan dan usia t...

Perempuan Menutup Aurat atau Lelaki Menahan Nafsu?

Polemik patriarki selalu jadi tema pembahasan para feminism. Ada sudut pandang lain yang menurut mereka lelaki terlalu spesial dari perempuan.  Salah satunya soal perintah perempuan harus menutup aurat, lalu dihubungkan dengan soal tindakan kriminal, pemerkosaan dan menjaga kehormatan. Feminism melihat bukan soal perempuan yang harus menutup aurat, tapi lelakilah yang harus menahan nafsu. Dari sinilah perseteruan dimulai! Menurut saya, tidak ada polemik yang perlu diperpanjang, entah siapa yang memulai, tapi pembahasan ini seharusnya selesai sejak kedua titah itu dituliskan. Jika dilanjutkan, akhirnya muncul ribuan pertanyaan. Kenapa perempuan harus bertanggung jawab atas nafsu lelaki? Kenapa perempuan yang harus jaga diri dari lelaki, bukan sebaliknya? Dari pihak lain akan bertanya juga dengan konteksnya.  Menutup aurat itu kewajiban bagi perempuan, begitu juga menahan nafsu wajib bagi lelaki. Ego masing-masing yang membuat perdebatan ini tidak ada endingnya. Ada satu perspek...