Langsung ke konten utama

(Dakwah) Pendaki Akhwat


Semakin maraknya even pendakian beberapa tahun ke belakang. Entah itu “organized” resmi atau oleh organisasi lokal menjadikan gunung sebagai tujuan hobi yang anyar. Tentu bukan hal baru perihal pendakian gunung, tapi jika dihitung dalam kapasitas yang besar maka mendaki gunung menjadi hobi baru yang menginjak rating yang tinggi, khususnya di Indonesia.
Melonjaknya peminat hobi ini (khususnya di Indonesia) bisa dikategorikan kepada beberapa sebab. Mengingat masyarakat (awam) Indonesia yang latah tehadap tren. Bisa dikatakan film 5 cm karya Donny Dhirgantoro menjadi titik awal ramainya pendakian gunung. Bukan berarti semua pendaki pemula melakukannya berdasarkan momen yang sedang tren, tentu ada kategori lain yang mereka jadikan sebagai alasan tertentu.
Berjalannya waktu “mendaki gunung” yang cenderung dipandang sebagai olahraga yang berat kini justru banyak diikuti oleh kaum hawa. Sehingga hobi ini mulai diikuti oleh semua kalangan mulai anak hingga tua. Apalagi dengan mulai terbukanya gunung-gunung yang ringan untuk didaki, menjadi sasaran empuk untuk berlibur akhir pekan atau semesteran. Sama dengan umumnya, dari hawa juga ada yang melakukannya dengan berbagai alasan. Tren, hits, piknik hingga yang benar-benar untuk berolahraga dan cinta alam menjadi alasan tersendiri untuk mulai menghirup udara segar di ketinggian.
Peran Dakwah
Islam sebagai agama syamil dan rahmatan lil alamin tentu mendukung olahraga ini, apalagi ditambah dengan alasan untuk mencintai dan mentadaburi alam. Tapi tidak dengan melupakan kewajiban. Dimanapun seorang muslim berada ; gunung atau laut, panas atau dingin, kutub utara atau selatan kewajiban itu tetap berlaku. Dan pribadi seorang muslim akan selalu mengusahakan untuk melaksanakannya.
Termasuk keberadaan kita selaku muslim saat di gunung. Ibadah khususnya sholat bisa menjadi halangan atau justru menjadi dorongan. Gunung bisa menjadikan kita malas, tapi bisa menjadikan lebih giat karena mentadaburinya. Bisa menjadikan kita ingat mati, bisa juga menjadikan kita lebih berfoya dengan dunia. Semuanya bisa terjadi saat kita di puncak gunung. Dan sebuah kebanggan bagi kita untuk tetap beribadah saat berada di mdpl.
Perihal ini, posisi akhwat mungkin akan dianggap lebih menyulitkan. Mukena menjadi horor untuk dipakai dan terlihat. Sehingga berefek kepada malas beribadah. Ujian besar lainnya adalah pandangan orang (pendaki) lain saat akhwat mengenakan mukena dan shalat. Bermacam-macam ocehan akan berserakan, yang ditujukan langsung atau hanya berbisik-bisik.
Munculnya anggapan yang berat kepada akhwat seharusnya tidak membuatnya lemah dan enggan untuk ikut serta mendaki. Gunung bisa menjadi lahan dakwah bagi para akhwat, menjadi tempat pembuktian bahwa shalat tidak menjadi halangan untuk tetap mendaki. Lebih hebatnya akan menjadikan hal yang lumrah di mata para pendaki jika melihat akhwat yang shalat.
Sebuah proyek dakwah yang dimulai dari perorangan dan berefek pada banyak orang di seluruh tempat pendakian. Tidak hanya itu, seorang akhwat yang tetap menjaga shalatnya meski dalam pendakian shalat tetap tidak mudah. Bahkan mengajak kepada sesama muslim untuk tetap istiqamah menjaga shalatnya.
Dengan begini anggapan kepada islam sebagai agama yang menyulitkan dengan lambat akan terhapus. Shalat yang ditakuti para pendaki akan menjadi hal biasa untuk melakukannya. Hasil pembiasaan ini akan terlihat dengan sendirinya sebagaimana beratnya menggendong air berliter-liter tapi bisa diusahakan hingga sampai puncak.
Akhwat yang dulunya minder dan terpojokan karena shalat saat pendakian akan menjadi tenang karena berjamaah dan mulai tidak dipandang aneh.
Tentu hal ini menjadi harapan bagi semua umat islam. Dan menjadi motivasi bagi seluruhnya bahwa “seorang akhwat yang yang dipandang aneh dan sulit untuk beribadah di gunung ternyata istiqamah melakukannya”. Hal kecil dan remeh tapi akibatnya dirasakan oleh semua. Ayo mendaki !!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yahya Sinwar dan Naluri Kepahlawanan Ja’far bin Abi Thalib

  Ja’far bin Abi Thalib turun ke medan perang dengan keberanian, meski ada pesan tak biasa dari Nabi Muhammad bagi pasukan Mu’tah. Zaid bin Haritsah wafat, Ja’far langsung mengamankan panji Islam, tanda Islam tidak tunduk pada banyaknya pasukan Romawi. Tangan kanannya terputus, Ja’far hanya peduli pada panji Islam agar terus berkibar. Kibaran panji Islam bukan soal simbol belaka, ada kobaran semangat yang akan mendorong tiga ribu umat Islam yang berjibaku. Giliran tangan kiri Ja’far yang ditebas, sisa tangannya bersusah payah menarik kembali panji Islam agar tetap berkibar. Ja’far wafat dalam kondisi yang mengenaskan, panji dilanjutkan oleh Ibnu Rawahah dan berujung kematian juga untu dirinya. Khalid bin Walid hadir memberi angina segar dan mampu mengusir ratusan ribu pasukan romawi dari Mu’tah. Ja’far merupakan sahabat yang memiliki kapasitas kelas kakap, kemampuan bernegosiasi di hadapan Raja Najasyi berhasil mengamankan puluhan umat Islam di Ethiopia. Saat berduel dengan ped...

Jaminan Dewasa bukan Usia

Masalah dewasa selalu menjadi persoalan di tengah kebingungan orang menentukan standar apa yang harus dipahami. Soal standar dewasa ini memang sangat relatif. Sulit mencari sudut pandang yang objektif, sebab ukuran dewasa seseorang sangat banyak pertimbangannya. Melihat dari sudut satu tidak menutup perbedaan yang terbentang dari sudut pandang satunya. Belum lagi dilihat dari banyak ilmu yang berbicara tentang seperti apa dewasa sebenarnya. Bahkan saat kita mengatakan “masyarakat indonesia belum terlalu dewasa menyikapi masalah” , justru pernyataan itu akan berbalik. Dewasa kah orang yang mengatakan masyarakat belum dewasa? Dalam mata hukum misalnya, secara umum  batas usia seorang dewasa adalah 21 tahun. Tapi dalam undang-undang lainnya menentukan batas usia yang berbeda dalam memandang kedewasaan. Menurut sebagian ahli menyebut batas awal dewasa adalah usia 18 tahun. Sedangkan hukum Islam menyebut seorang baligh adalah dengan ihtilam, tumbuhnya rambut kemaluan dan usia t...

Perempuan Menutup Aurat atau Lelaki Menahan Nafsu?

Polemik patriarki selalu jadi tema pembahasan para feminism. Ada sudut pandang lain yang menurut mereka lelaki terlalu spesial dari perempuan.  Salah satunya soal perintah perempuan harus menutup aurat, lalu dihubungkan dengan soal tindakan kriminal, pemerkosaan dan menjaga kehormatan. Feminism melihat bukan soal perempuan yang harus menutup aurat, tapi lelakilah yang harus menahan nafsu. Dari sinilah perseteruan dimulai! Menurut saya, tidak ada polemik yang perlu diperpanjang, entah siapa yang memulai, tapi pembahasan ini seharusnya selesai sejak kedua titah itu dituliskan. Jika dilanjutkan, akhirnya muncul ribuan pertanyaan. Kenapa perempuan harus bertanggung jawab atas nafsu lelaki? Kenapa perempuan yang harus jaga diri dari lelaki, bukan sebaliknya? Dari pihak lain akan bertanya juga dengan konteksnya.  Menutup aurat itu kewajiban bagi perempuan, begitu juga menahan nafsu wajib bagi lelaki. Ego masing-masing yang membuat perdebatan ini tidak ada endingnya. Ada satu perspek...