Langsung ke konten utama

Lunturnya Identitas Berpikir (2)


Kemenangan demi kemenangan diraih oleh pasukan Rasulullah. Melalui komandan-komandan muda yang memimpin peperangan, Islam semakin meluas di masa khulafaurrasyidin. Bahkan hingga menular ke negeri pertiwi. Semangat jihad menumpas penjajahan Eropa, sama kuatnya dengan khilafah nenek moyangnya. Pekikan takbir bung Tomo dan Pangeran Dipenogoro bukan sekedar fiktif yang ada di buku sejarah SMP-SMA. Itu adalah semangat juang tinggi untuk menyingkirkan kafir barat. Karena janji Allah akan kemenangan serta nasionalisme yang tinggi Indonesiapun merdeka.
Dalam perjuangan, kita tidak berbicara tentang kemenangan. Biarlah seorang pejuang tetap mempunyai nilai tersendiri di hadapan Tuhannya dan para saksi yang juga syahid di jalanNya. Tapi pejuang tetap pejuang walau tanpa kemenangan.
Akan menjadi gagal paham kita jika penilaian dari sebuah perjuangan hanya hasil semata. Kita akan terlihat materialistis. Tidak semua Rasul dan Nabi Allah sukses dalam perjuangan dakwah. Apakah umat Nuh as bertobat semua? Jangankan bertobat, istri dan anaknya saja melawannya. Hingga wafatnya Musa dan Harun, bani Israil tetap tidak bertobat. Bahkan mereka tidak pernah menemukan negeri Palestina yang sudah di pelupuk mata.
Jika timbangannya adalah hasil, maka beberapa utusan Allah menjadi tidak bernilai karena tidak berhasil sepenuhnya. Tapi yang diminta dalam dakwah adalah menyampaikan. Proses menyampaikan inilah yang akan menjadi nilai dihadapan Allah. Seorang yang berjuang karena Allah maka sudah mendapatkan nilainya. Oleh karena iti yang diyakini oleh para pejuang yang bernilai adalah yakin bahwa jalur kemenangan yang Allah janjikan akan hadir. Dan mereka akan berusaha agar tetap berada di jalur yang benar meski kemenangan belum kunjung datang.
Sehingga jika ditanya “apa yang hilang dari seorang muslim era sekarang?”. Maka itu adalah keyakinan akan janji Allah. Kita mulai ragu dengan jalur kemenangan yang dijanjikan. Dan mulai mencari arah yang lebih praktis untuk mendapatkan tujuan. Karena sifat pragmatis inilah kita melakukan segala cara hingga menyalahi aturan hidup yang disepakati bahkan syariat. Kita lebih tergiur hidup dengan menggapai kemenangan dari pada berada di jalur yang benar dan meninggal tanpa hasil. Ini juga yang membuat selalu perhitungan dalam usaha lalu pelit dalam berjuang.
Identitas yang ditonjolkan pejuang Indonesia sudah terhapus waktu. Jendral Soedirman tetap memimpin perang gerilya ketika sakit bukan hanya karena ingin menang. Karena dengan posisi seperti itu sangat sulit baginya untuk memimpin. Tapi yang dia inginkan adalah berada di jalur kemenangan meski akhirnya tidak merasakan kemenangan. Hal ini yang hilang saat ini.
Kita dituntut menang tapi identitas sebagai seorang muslim dan negarawan justru diacuhkan. Kita berbelok dari jalur kemenangan itu. Kita berbelok ke arah dimana kemenangan memanggil kita, tapi jalurnya rusak dan tak beraturan.
Mungkin nikmatnya menang bisa kita capai, tapi akan sangat rugi jika gagal di medan yang tidak jelas silsilahnya.
Cukuplah kita yakini bahwa janji Allah itu ada. Kemenangan Islam itu akan hadir. Tetaplah berada di jalan tersebut. Karena yang dinilai bukan berapa kemenangan yang kita gapai. Tapi ketika suatu saat janji itu hadir “apakah kita berada di dalamnya atau tidak?”.
Ketika berbicara ini, saya selalu teringat dengan perkataan Dr. Taufiq Qulazhar "الدعوة تكون بكم ام بغيركم"
"Dakwah (islam) akan tetap menang dengan kalian di dalamnya atau tidak".
Wallahua'lam

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yahya Sinwar dan Naluri Kepahlawanan Ja’far bin Abi Thalib

  Ja’far bin Abi Thalib turun ke medan perang dengan keberanian, meski ada pesan tak biasa dari Nabi Muhammad bagi pasukan Mu’tah. Zaid bin Haritsah wafat, Ja’far langsung mengamankan panji Islam, tanda Islam tidak tunduk pada banyaknya pasukan Romawi. Tangan kanannya terputus, Ja’far hanya peduli pada panji Islam agar terus berkibar. Kibaran panji Islam bukan soal simbol belaka, ada kobaran semangat yang akan mendorong tiga ribu umat Islam yang berjibaku. Giliran tangan kiri Ja’far yang ditebas, sisa tangannya bersusah payah menarik kembali panji Islam agar tetap berkibar. Ja’far wafat dalam kondisi yang mengenaskan, panji dilanjutkan oleh Ibnu Rawahah dan berujung kematian juga untu dirinya. Khalid bin Walid hadir memberi angina segar dan mampu mengusir ratusan ribu pasukan romawi dari Mu’tah. Ja’far merupakan sahabat yang memiliki kapasitas kelas kakap, kemampuan bernegosiasi di hadapan Raja Najasyi berhasil mengamankan puluhan umat Islam di Ethiopia. Saat berduel dengan ped...

Jaminan Dewasa bukan Usia

Masalah dewasa selalu menjadi persoalan di tengah kebingungan orang menentukan standar apa yang harus dipahami. Soal standar dewasa ini memang sangat relatif. Sulit mencari sudut pandang yang objektif, sebab ukuran dewasa seseorang sangat banyak pertimbangannya. Melihat dari sudut satu tidak menutup perbedaan yang terbentang dari sudut pandang satunya. Belum lagi dilihat dari banyak ilmu yang berbicara tentang seperti apa dewasa sebenarnya. Bahkan saat kita mengatakan “masyarakat indonesia belum terlalu dewasa menyikapi masalah” , justru pernyataan itu akan berbalik. Dewasa kah orang yang mengatakan masyarakat belum dewasa? Dalam mata hukum misalnya, secara umum  batas usia seorang dewasa adalah 21 tahun. Tapi dalam undang-undang lainnya menentukan batas usia yang berbeda dalam memandang kedewasaan. Menurut sebagian ahli menyebut batas awal dewasa adalah usia 18 tahun. Sedangkan hukum Islam menyebut seorang baligh adalah dengan ihtilam, tumbuhnya rambut kemaluan dan usia t...

Perempuan Menutup Aurat atau Lelaki Menahan Nafsu?

Polemik patriarki selalu jadi tema pembahasan para feminism. Ada sudut pandang lain yang menurut mereka lelaki terlalu spesial dari perempuan.  Salah satunya soal perintah perempuan harus menutup aurat, lalu dihubungkan dengan soal tindakan kriminal, pemerkosaan dan menjaga kehormatan. Feminism melihat bukan soal perempuan yang harus menutup aurat, tapi lelakilah yang harus menahan nafsu. Dari sinilah perseteruan dimulai! Menurut saya, tidak ada polemik yang perlu diperpanjang, entah siapa yang memulai, tapi pembahasan ini seharusnya selesai sejak kedua titah itu dituliskan. Jika dilanjutkan, akhirnya muncul ribuan pertanyaan. Kenapa perempuan harus bertanggung jawab atas nafsu lelaki? Kenapa perempuan yang harus jaga diri dari lelaki, bukan sebaliknya? Dari pihak lain akan bertanya juga dengan konteksnya.  Menutup aurat itu kewajiban bagi perempuan, begitu juga menahan nafsu wajib bagi lelaki. Ego masing-masing yang membuat perdebatan ini tidak ada endingnya. Ada satu perspek...