Setiap kelebihan yang dimiliki oleh setiap orang adalah anugerah yang diberikan dalam menghadapi keragaman hidup dan masalah. Sekaligus sarana antar manusia saling mengagumi, saling belajar demi kehidupan yang lebih baik. Keunikan atau keunggulan akan menjadi daya tarik bagi mereka yang sekiranya sejalan dalam hal tertentu.
Tapi, keunikan dan keunggulan yang menjadi panutan sentral kita bagaiman melangkah tidak selamanya cocok dengan prinsip kita atau prinsip sistem yang diyakini secara jumhur. Cara jend. Sudirman mengaung belum tentu layak dengan sistem kita. Gerakan KH Ahmad Dahlan atau KH Hasyim Asyari belum tentu klop dengan sistem dan prinsip yang dijalankan. Tapi tetap dalam setiap pribadi unggulan tersebut akan tersapat nilai besar yang patut kita contoh.
Begitu juga dalam sebuah organisasi yang memiliki sistem yang kokoh, visi dan misi yang lurus harus terus dijaga.
Kematangan dalam berorganisasi bukan hanya teguh pada kebenaran yang sifatnya asumsi pribadi atau segelintir orang, tapi harus benar di mata sistem. Itulah mengapa dalam menjalani hidup yang tersusun oleh sistem kita tidak berkiblat kepada tokoh A atau B. Tapi tetap dalam prinsip dan sistem. Tanpa menafikan keunggulan setiap pribadi atau tokoh berpengaruh, sebagaimana saya kutip diatas.
Misalnya, dalam sebuah partai. Politik kepartaian yang serba sentralistik kepada tokoh hanya akan menutup kesempatan kader partai untuk mengemukakan pendapat dan menunjukan keahlian. Dengan begitu kinerja kader akan ikut terhambat. Problem “setiap manusia adalah tempat salah dan.lupa” salah satu faktornya. Aktor film boleh meninggal tapi substansi film masih mengakar di pikiran kita. Itu karena kita diajak kepada sistem berpikir substansi film tersebut. Sehingga seorang kader partai dituntut berpegang pada aturan partai yang disepakati jumhur dan sifatnya tetap (ada). Tidak kepada tokoh yang mungkin benar dan salah, mungkin mati dan hidup.
Meskipun begitu, ikram dan menghormati tokoh yang menjadi sentral dalam sebuah organisasi atau partai haru tetap ditinggikan. Karena dari sanalah seorang Kader belajar. Menurut saya, inilah kehidupan ideal. Mampu menjaga ego dalam menentukan langkah. Memahami sistem dan belajar dari orang pengalaman. Dan mampu membagi porsi yang benar dalam ketaatan sistem dan tokoh.
Sebuah kutipan yang saya temukan di medsos “kekacauan akan terjadi jika semua menjadi nahkoda. Ada saatnya nahkoda mengambil keputusan”. Dalam pengambilan keputisan mungkin semua nahkoda akan berpendapat. Jika nahkoda utama sudah berhukum sesuai dengan atirannya maka itulah keputusan bersama. Disnilah kita diuji kematangan dalam memahami sebuah organisasi berjalan dalam jalurnya. Tokoh yang banyak dikagumi pun tetap tumduk kepada aturan nahkoda adalah benar.
Kasus tawan perang Badar Rasulllah meminta pendapat kepada para sahabat. Akal itu Abu Bakar berpendapat agar dibebaskan setelah keluarga membayar tebusan. Dan Umar menganggap para tawanan harus dibunuh. Dalam hal ini ketiganya adalah tokoh. Tapi nahkoda utama (Rasul) harus tetap memgambil keputusan. Walaupun begitu, keputusan manapun yang diambil haru diyakini. Karena dalam sebuah jamaah/organisasi/partai pemimpin perwakilan yang berbicara atas nama sistem. Dan pengikut harus taat meski menurutnya asumsi pribadi benar.
Oleh karena itu kuncinya ada pada pembentukan sistem yang baik dan benar, pemimpin yang adil dan amanah serta kematangan pemahaman kader tentang jamaah, organisasi atau partai. Dan yang terpenting bagi kita semua adalah mengendalikan ego dan legowo. Wallahu a’lam
Komentar
Posting Komentar