Langsung ke konten utama

Sentralisasi Sistem Dan Hormati Tokoh !

Setiap kelebihan yang dimiliki oleh setiap orang adalah anugerah yang diberikan dalam menghadapi keragaman hidup dan masalah. Sekaligus sarana antar manusia saling mengagumi, saling belajar demi kehidupan yang lebih baik. Keunikan atau keunggulan akan menjadi daya tarik bagi mereka yang sekiranya sejalan dalam hal tertentu.

Tapi, keunikan dan keunggulan yang menjadi panutan sentral kita bagaiman melangkah tidak selamanya cocok dengan prinsip kita atau prinsip sistem yang diyakini secara jumhur. Cara jend. Sudirman mengaung belum tentu layak dengan sistem kita. Gerakan KH Ahmad Dahlan atau KH Hasyim Asyari belum tentu klop dengan sistem dan prinsip yang dijalankan. Tapi tetap dalam setiap pribadi unggulan tersebut akan tersapat nilai besar yang patut kita contoh.
Begitu juga dalam sebuah organisasi yang memiliki sistem yang kokoh, visi dan misi yang lurus harus terus dijaga.

Kematangan dalam berorganisasi bukan hanya teguh pada kebenaran yang sifatnya asumsi pribadi atau segelintir orang, tapi harus benar di mata sistem. Itulah mengapa dalam menjalani hidup yang tersusun oleh sistem kita tidak berkiblat kepada tokoh A atau B. Tapi tetap dalam prinsip dan sistem. Tanpa menafikan keunggulan setiap pribadi atau tokoh berpengaruh, sebagaimana saya kutip diatas.

Misalnya, dalam sebuah partai. Politik kepartaian yang serba sentralistik kepada tokoh hanya akan menutup kesempatan kader partai untuk mengemukakan pendapat dan menunjukan keahlian. Dengan begitu kinerja kader akan ikut terhambat. Problem “setiap manusia adalah tempat salah dan.lupa” salah satu faktornya. Aktor film boleh meninggal tapi substansi film masih mengakar di pikiran kita. Itu karena kita diajak kepada sistem berpikir substansi film tersebut. Sehingga seorang kader partai dituntut berpegang pada aturan partai yang disepakati jumhur dan sifatnya tetap (ada). Tidak kepada tokoh yang mungkin benar dan salah, mungkin mati dan hidup.

Meskipun begitu, ikram dan menghormati tokoh yang menjadi sentral dalam sebuah organisasi atau partai haru tetap ditinggikan. Karena dari sanalah seorang Kader belajar. Menurut saya, inilah kehidupan ideal. Mampu menjaga ego dalam menentukan langkah. Memahami sistem dan belajar dari orang pengalaman. Dan mampu membagi porsi yang benar dalam ketaatan sistem dan tokoh.

Sebuah kutipan yang saya temukan di medsos “kekacauan akan terjadi jika semua menjadi nahkoda. Ada saatnya nahkoda mengambil keputusan”. Dalam pengambilan keputisan mungkin semua nahkoda akan berpendapat. Jika nahkoda utama sudah berhukum sesuai dengan atirannya maka itulah keputusan bersama. Disnilah kita diuji kematangan dalam memahami sebuah organisasi berjalan dalam jalurnya. Tokoh yang banyak dikagumi pun tetap tumduk kepada aturan nahkoda adalah benar.
Kasus tawan perang Badar Rasulllah meminta pendapat kepada para sahabat. Akal itu Abu Bakar berpendapat agar dibebaskan setelah keluarga membayar tebusan. Dan Umar menganggap para tawanan harus dibunuh. Dalam hal ini ketiganya adalah tokoh. Tapi nahkoda utama (Rasul) harus tetap memgambil keputusan. Walaupun begitu, keputusan manapun yang diambil haru diyakini. Karena dalam sebuah jamaah/organisasi/partai pemimpin perwakilan yang berbicara atas nama sistem. Dan pengikut harus taat meski menurutnya asumsi pribadi benar.

Oleh karena itu kuncinya ada pada pembentukan sistem yang baik dan benar, pemimpin yang adil dan amanah serta kematangan pemahaman kader tentang jamaah, organisasi atau partai. Dan yang terpenting bagi kita semua adalah mengendalikan ego dan legowo. Wallahu a’lam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yahya Sinwar dan Naluri Kepahlawanan Ja’far bin Abi Thalib

  Ja’far bin Abi Thalib turun ke medan perang dengan keberanian, meski ada pesan tak biasa dari Nabi Muhammad bagi pasukan Mu’tah. Zaid bin Haritsah wafat, Ja’far langsung mengamankan panji Islam, tanda Islam tidak tunduk pada banyaknya pasukan Romawi. Tangan kanannya terputus, Ja’far hanya peduli pada panji Islam agar terus berkibar. Kibaran panji Islam bukan soal simbol belaka, ada kobaran semangat yang akan mendorong tiga ribu umat Islam yang berjibaku. Giliran tangan kiri Ja’far yang ditebas, sisa tangannya bersusah payah menarik kembali panji Islam agar tetap berkibar. Ja’far wafat dalam kondisi yang mengenaskan, panji dilanjutkan oleh Ibnu Rawahah dan berujung kematian juga untu dirinya. Khalid bin Walid hadir memberi angina segar dan mampu mengusir ratusan ribu pasukan romawi dari Mu’tah. Ja’far merupakan sahabat yang memiliki kapasitas kelas kakap, kemampuan bernegosiasi di hadapan Raja Najasyi berhasil mengamankan puluhan umat Islam di Ethiopia. Saat berduel dengan ped...

Jaminan Dewasa bukan Usia

Masalah dewasa selalu menjadi persoalan di tengah kebingungan orang menentukan standar apa yang harus dipahami. Soal standar dewasa ini memang sangat relatif. Sulit mencari sudut pandang yang objektif, sebab ukuran dewasa seseorang sangat banyak pertimbangannya. Melihat dari sudut satu tidak menutup perbedaan yang terbentang dari sudut pandang satunya. Belum lagi dilihat dari banyak ilmu yang berbicara tentang seperti apa dewasa sebenarnya. Bahkan saat kita mengatakan “masyarakat indonesia belum terlalu dewasa menyikapi masalah” , justru pernyataan itu akan berbalik. Dewasa kah orang yang mengatakan masyarakat belum dewasa? Dalam mata hukum misalnya, secara umum  batas usia seorang dewasa adalah 21 tahun. Tapi dalam undang-undang lainnya menentukan batas usia yang berbeda dalam memandang kedewasaan. Menurut sebagian ahli menyebut batas awal dewasa adalah usia 18 tahun. Sedangkan hukum Islam menyebut seorang baligh adalah dengan ihtilam, tumbuhnya rambut kemaluan dan usia t...

Perempuan Menutup Aurat atau Lelaki Menahan Nafsu?

Polemik patriarki selalu jadi tema pembahasan para feminism. Ada sudut pandang lain yang menurut mereka lelaki terlalu spesial dari perempuan.  Salah satunya soal perintah perempuan harus menutup aurat, lalu dihubungkan dengan soal tindakan kriminal, pemerkosaan dan menjaga kehormatan. Feminism melihat bukan soal perempuan yang harus menutup aurat, tapi lelakilah yang harus menahan nafsu. Dari sinilah perseteruan dimulai! Menurut saya, tidak ada polemik yang perlu diperpanjang, entah siapa yang memulai, tapi pembahasan ini seharusnya selesai sejak kedua titah itu dituliskan. Jika dilanjutkan, akhirnya muncul ribuan pertanyaan. Kenapa perempuan harus bertanggung jawab atas nafsu lelaki? Kenapa perempuan yang harus jaga diri dari lelaki, bukan sebaliknya? Dari pihak lain akan bertanya juga dengan konteksnya.  Menutup aurat itu kewajiban bagi perempuan, begitu juga menahan nafsu wajib bagi lelaki. Ego masing-masing yang membuat perdebatan ini tidak ada endingnya. Ada satu perspek...