Langsung ke konten utama

Memaknai Kehidupan Yang Beradab


Mungkin aurat tertutup tapi tubuh penuh kotor tak terurus. Atau hafal quran tapi konsep pahamnya tak teruji. Atau infaq sedekah tak terlewatkan tapi anak istri kelaparan. Atau punya banyak kesibukan tapi lupa orang tua. Atau ekonomi terjaga tapi jamaah layaknya sapu lidi yang berserakan.

Begitulah realita kehidupan yang harus dihadapi gerakan pemuda islam, lembaga dan muslim secara umum. Antara dua kebaikan yang bersamaan seperti berjarak amat jauh. Antara mulianya nilai islam dan pelaku transformasi menuju kehidupan yang nyata seperti terhalang benteng yang lebih besar dari benteng china. Disinilah kemampuan dan kompetensi antar umat diuji. Sehingga peradaban islam akan dikategorikan layak di mata umat lain.

Bukan karena pemuda yang malas atau minimnya anggaran. Tapi sebuah cara tua yang tak layak untuk disuguhkan. Proyek besar umat dalam bidang dakwah, amar ma'ruf nahi munkar, tata negara yang ideal, perumusan sistem pendidikan, menata keindahan kota, melawan nepotisme dan korupsi, menjaga keutuhan keragaman manusia, semuanya tidak bisa hanya dikerjakan oleh orang dermawan, baik hatinya dan rajin shalat. Tapi juga harus berdasarkan pengetahuan dan ahli.

Filsafat kehidupan yang fana di mata generasi baru. Yang pernah juga dialami generasi dulu harus segera di-upgrade lagi. Dikotomi ilmu antara dunia dan akhirat yang bertentangan harus dibangun atas dasar iman dan kemanusiaan. Begitulah sebuah peradaban islam akan hadir.
Jarak yang yang renggang antar ilmu (dunia dan akhirat) hanya merusak kinerja peradaban. Sedangkan peradaban lain teus melaju dengan materialisme yang gagap hati. Koordinasi antara keimanan dan ilmu harus dilangsungkan dalam segala bidang. Perlu pakar-pakar yang muncul karena iman dan diberikan untuk kehidupan yang baik.

Arsitek kapal terbesar sekelas Titanic Nuh as sudah melakukannya sejak dulu. Dia berusaha di dunia menyelamatkan umatnya dari kerusakan. Tanpa melepaskan keimanan dunia akhirat mereka menjadi indah. Begitu juga Daud pakar industri besi yang handal. Dan Yusuf as yang paham tata negara lalu menyelamatkan banyak nyawa dari kelaparan.

Tidak hanya karena mereka beriman. Tapi mereka meyakini sebuah ayat : “Siapa yang menuntaskan kerja yang baik, laki-laki ataupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami anugerahkan kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami reward mereka dengan sesuatu yang lebih baik dari kerja-kerja mereka’’[an-Nahl:97]. Kemampuan nalar yang baik. Lalu iman dan segalanya dilakukan untuk sebuah kehidupan yang baik. Dengan harapan ganjaran Allah di akhirat kelak.

Kredo gerakan yang sangat idealis itu jangan pernah menganggapnya pesimis. Pemuda akan realistis dan melakukannya dengan spirit dan power. Sebagaimana tua melakukannya dengan pengalaman. Keduanya harus berkonsolidasi dalam sebuah amal jamai.

Kehidupan yang rumit antara ada (kebaikan) dan tiada (kebaikan lainnya) akan menjadi perjuangan pemuda sebagai penggerak mayoritas umat. Kesamaran harus dicari titik temu menkadi keyakinan. Pemuda akan berusaha menemukan kaidah kehidupan “jika berbuat baik maka baiklah seluruhnya”.
Untuk sebuah kaidah kehidupan yang samar tersebut zaman sahabat sudah lebih dulu mencapainya. Mereka menguasai ilmu arsitektur, ekonomi, politik, pertanian, administrasi, militer hingga sastra. Era selanjutnya peradaban islam yang dikenal dengan “ashru dzahab” dengan keilmuan yang meningkat dan mengaung di belantara 3 benua. Mereka berasaskan iman dan mampu mengendalikan ilmu dunia, bahkan memajukannya.

Meski itu dilakukan dalam waktu singkat jika dibandingkan dengan peradaban lainnya. Itu bukan sulap. Tapi sebuah andil besar setiap pribadi muslim yang profesional memahami kehidupan. Perjuangan, kekuatan jamaah dan strategi yang sangat modern di zamannya mampu menerangi banyak peradaban hingga sekarang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yahya Sinwar dan Naluri Kepahlawanan Ja’far bin Abi Thalib

  Ja’far bin Abi Thalib turun ke medan perang dengan keberanian, meski ada pesan tak biasa dari Nabi Muhammad bagi pasukan Mu’tah. Zaid bin Haritsah wafat, Ja’far langsung mengamankan panji Islam, tanda Islam tidak tunduk pada banyaknya pasukan Romawi. Tangan kanannya terputus, Ja’far hanya peduli pada panji Islam agar terus berkibar. Kibaran panji Islam bukan soal simbol belaka, ada kobaran semangat yang akan mendorong tiga ribu umat Islam yang berjibaku. Giliran tangan kiri Ja’far yang ditebas, sisa tangannya bersusah payah menarik kembali panji Islam agar tetap berkibar. Ja’far wafat dalam kondisi yang mengenaskan, panji dilanjutkan oleh Ibnu Rawahah dan berujung kematian juga untu dirinya. Khalid bin Walid hadir memberi angina segar dan mampu mengusir ratusan ribu pasukan romawi dari Mu’tah. Ja’far merupakan sahabat yang memiliki kapasitas kelas kakap, kemampuan bernegosiasi di hadapan Raja Najasyi berhasil mengamankan puluhan umat Islam di Ethiopia. Saat berduel dengan ped...

Jaminan Dewasa bukan Usia

Masalah dewasa selalu menjadi persoalan di tengah kebingungan orang menentukan standar apa yang harus dipahami. Soal standar dewasa ini memang sangat relatif. Sulit mencari sudut pandang yang objektif, sebab ukuran dewasa seseorang sangat banyak pertimbangannya. Melihat dari sudut satu tidak menutup perbedaan yang terbentang dari sudut pandang satunya. Belum lagi dilihat dari banyak ilmu yang berbicara tentang seperti apa dewasa sebenarnya. Bahkan saat kita mengatakan “masyarakat indonesia belum terlalu dewasa menyikapi masalah” , justru pernyataan itu akan berbalik. Dewasa kah orang yang mengatakan masyarakat belum dewasa? Dalam mata hukum misalnya, secara umum  batas usia seorang dewasa adalah 21 tahun. Tapi dalam undang-undang lainnya menentukan batas usia yang berbeda dalam memandang kedewasaan. Menurut sebagian ahli menyebut batas awal dewasa adalah usia 18 tahun. Sedangkan hukum Islam menyebut seorang baligh adalah dengan ihtilam, tumbuhnya rambut kemaluan dan usia t...

Perempuan Menutup Aurat atau Lelaki Menahan Nafsu?

Polemik patriarki selalu jadi tema pembahasan para feminism. Ada sudut pandang lain yang menurut mereka lelaki terlalu spesial dari perempuan.  Salah satunya soal perintah perempuan harus menutup aurat, lalu dihubungkan dengan soal tindakan kriminal, pemerkosaan dan menjaga kehormatan. Feminism melihat bukan soal perempuan yang harus menutup aurat, tapi lelakilah yang harus menahan nafsu. Dari sinilah perseteruan dimulai! Menurut saya, tidak ada polemik yang perlu diperpanjang, entah siapa yang memulai, tapi pembahasan ini seharusnya selesai sejak kedua titah itu dituliskan. Jika dilanjutkan, akhirnya muncul ribuan pertanyaan. Kenapa perempuan harus bertanggung jawab atas nafsu lelaki? Kenapa perempuan yang harus jaga diri dari lelaki, bukan sebaliknya? Dari pihak lain akan bertanya juga dengan konteksnya.  Menutup aurat itu kewajiban bagi perempuan, begitu juga menahan nafsu wajib bagi lelaki. Ego masing-masing yang membuat perdebatan ini tidak ada endingnya. Ada satu perspek...