Langsung ke konten utama

Lunturnya Identitas Berpikir (1)


Bagi seorang muslim identitas diri yang menunjukan pribadinya seorang muslim itu sangatlah penting. Indikasi yang memberikan khas pada diri seseorang bisa dalam bentuk apa saja. Pakaian, komunikasi, tapi terpenting adalah metodologi berpikir yang berimbas pada perilaku. Yang akan bertumpu pada pandangan sekitar bagaimana sebenarnya identitas kita.
Identitas berpikir yang sebegitu besarnya berpengaruh terhadap pola hidup seseorang dan sekitarnya kini mulai tergerus oleh nilai-nilai kebaratan yang sekuler. Akibatnya buah dari pikirannya adalah perilaku yang jauh dari tuhan. Kita seperti sedang dicekoki trauma yang pernah melanda barat. Trauma terhadap agama. Kita terus dipaksa untuk berpikir tanpa framework agama dengan dalih objektifitas sebuah pemikiran.
dengan kaidah “rahmatan lil alamin” dan keutamaan tangan diatas seharusnya Perihal beri-memberi umat islam selalu di barisan terdepan. tapi budaya memberi kepada sesama kini hilang. Padahal ini budaya sejak zaman Rasul SAW. Sahabat tak segan memberi untanya yang berjumlah ratusan hingga setengah harta bahkan seluruhnya itu jadi hal lumrah. Dan zaman ini untuk sekedar infaq sholat jumat kita masih pilah-pilih. Secepat itulah budaya yang sudah ditancapkan sejak lama tergerus.
Kalaulah belumlah sanggup mengembangkan hal-hal baik lainnya. Cobalah untuk mempertahankan budaya yang sudah dilakukan sejak nenek moyang kita. Selama itu baik masyarakat akan tetap menerimanya.
Sehak dahulu kala Kota Tasikmalaya sudah memiliki identitas sebagai kota santri karena begitu banyaknya pesantren. Hampir setiap kelurahan disitu ada pesantren. Bahkan di sekitar maqam ulama dan pejuang indonesia HZ Mustofa hampir kita akan temukan setiap gang disitu ada spanduk bertuliskan nama pesantren. Itulah Tasikmalaya yang sangat kental dengan islam dari pesantren2nya. Tapi bagaimana mungkin di tempat yang identitas kota santri penculikan motor ada dimana-mana, anak membunuh ayah juga kitta temukan. Belum lagi geng motor yang masih banyak berkeliaran menimbulkan keresahan.
Yang jelas identitas yang tak ternilai harganya itu kini sudah luntur dan bisa diperjual belikan. Dulu idealis sering dicemooh karena tidak realistis. Dan sekarang orang pragmatis justru banyak kehilangan identitasnya. Mereka lebih ingin berjuang atas nama kesejahteraan dan lupa idealisme islam. Padahal islam itu sendiri adalah kesejahteraan dan keselamatan. Permainan seperti sudah jadi makanan kita dimanapun tempatnya. Tidak ada tempat lagi bagi kita menyelamatkan metodologi berpikir yang menjadi identitas dan sudah banyak diracuni dan diliberalkan dari sebuah sistem sudah dibangun sejak dulu. Sudah waktunya idealis lebih realistis dan pragmatis lebih idealis. Mari berpikir.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yahya Sinwar dan Naluri Kepahlawanan Ja’far bin Abi Thalib

  Ja’far bin Abi Thalib turun ke medan perang dengan keberanian, meski ada pesan tak biasa dari Nabi Muhammad bagi pasukan Mu’tah. Zaid bin Haritsah wafat, Ja’far langsung mengamankan panji Islam, tanda Islam tidak tunduk pada banyaknya pasukan Romawi. Tangan kanannya terputus, Ja’far hanya peduli pada panji Islam agar terus berkibar. Kibaran panji Islam bukan soal simbol belaka, ada kobaran semangat yang akan mendorong tiga ribu umat Islam yang berjibaku. Giliran tangan kiri Ja’far yang ditebas, sisa tangannya bersusah payah menarik kembali panji Islam agar tetap berkibar. Ja’far wafat dalam kondisi yang mengenaskan, panji dilanjutkan oleh Ibnu Rawahah dan berujung kematian juga untu dirinya. Khalid bin Walid hadir memberi angina segar dan mampu mengusir ratusan ribu pasukan romawi dari Mu’tah. Ja’far merupakan sahabat yang memiliki kapasitas kelas kakap, kemampuan bernegosiasi di hadapan Raja Najasyi berhasil mengamankan puluhan umat Islam di Ethiopia. Saat berduel dengan ped...

Jaminan Dewasa bukan Usia

Masalah dewasa selalu menjadi persoalan di tengah kebingungan orang menentukan standar apa yang harus dipahami. Soal standar dewasa ini memang sangat relatif. Sulit mencari sudut pandang yang objektif, sebab ukuran dewasa seseorang sangat banyak pertimbangannya. Melihat dari sudut satu tidak menutup perbedaan yang terbentang dari sudut pandang satunya. Belum lagi dilihat dari banyak ilmu yang berbicara tentang seperti apa dewasa sebenarnya. Bahkan saat kita mengatakan “masyarakat indonesia belum terlalu dewasa menyikapi masalah” , justru pernyataan itu akan berbalik. Dewasa kah orang yang mengatakan masyarakat belum dewasa? Dalam mata hukum misalnya, secara umum  batas usia seorang dewasa adalah 21 tahun. Tapi dalam undang-undang lainnya menentukan batas usia yang berbeda dalam memandang kedewasaan. Menurut sebagian ahli menyebut batas awal dewasa adalah usia 18 tahun. Sedangkan hukum Islam menyebut seorang baligh adalah dengan ihtilam, tumbuhnya rambut kemaluan dan usia t...

Perempuan Menutup Aurat atau Lelaki Menahan Nafsu?

Polemik patriarki selalu jadi tema pembahasan para feminism. Ada sudut pandang lain yang menurut mereka lelaki terlalu spesial dari perempuan.  Salah satunya soal perintah perempuan harus menutup aurat, lalu dihubungkan dengan soal tindakan kriminal, pemerkosaan dan menjaga kehormatan. Feminism melihat bukan soal perempuan yang harus menutup aurat, tapi lelakilah yang harus menahan nafsu. Dari sinilah perseteruan dimulai! Menurut saya, tidak ada polemik yang perlu diperpanjang, entah siapa yang memulai, tapi pembahasan ini seharusnya selesai sejak kedua titah itu dituliskan. Jika dilanjutkan, akhirnya muncul ribuan pertanyaan. Kenapa perempuan harus bertanggung jawab atas nafsu lelaki? Kenapa perempuan yang harus jaga diri dari lelaki, bukan sebaliknya? Dari pihak lain akan bertanya juga dengan konteksnya.  Menutup aurat itu kewajiban bagi perempuan, begitu juga menahan nafsu wajib bagi lelaki. Ego masing-masing yang membuat perdebatan ini tidak ada endingnya. Ada satu perspek...