Langsung ke konten utama

“Wacana Terorisme” Untuk Menghambat Peradaban Islam


Belakangan ini kasus densus 88 menangkap salah seorang ustad dan imam masjid di klaten ramai dibicarakan. Yang dipersoalkan tidak pernah berubah, selalu masalah perlakuannya yang sewenang-wenang dan main hakim sendiri.

Seseorang dianggap teroris yang entah dari mana kabarnya, lalu densus 88 ditugaskan tanpa pikir panjang menggerebek dan menembal mati orang tersebut. Tragedi seperti ini bukan sekali, bahkan sudah berulang berkali-kali. Dan oknumnya selalu terkait teroris (islam) dan densus 88. Apa sebegitu pentingnya eksistensi densus 88 hingga bersikap memancing media. Ataukah memang benar adanya islam yang sedang ingin dipojokan dengan paranoid teroris, fundamentalis dan sebagainya.

Apakah yang dilakukan densus 88 tidak mencederai NKRI sebagai negara hukum. Hingga seorang statusnya masih “terduga” langsung dihakimi dengan hukuman terberat. 2015 sempat ramai hukuman mati para gerbog narkoba LN dan dalam negeri. Mereka diadili, masuk meja hijau hingga akhirnya diputuskan hukuman mati. Yang akhirnya mereka dihukum mati drngan caranya negeri ini. Bahkan saat meja hijau pelaku masih sempat menolak dan diberi kebebasan untuk menggunakan jasa pengacara untuk melobi hukum. Lantas, apakah seorang imam masjid yang juga WNI tidak memiliki kebebasan seperti itu. Sehingga anak dan istrinya harus langsung kehilangan seorang panutan keluarga tanpa tahu sebabnya.

Setelah mendapat kecaman dari berbagai pihak sepertinya orang-orang ini (anggota densus) masih bisa berjalan dan belanja karena mereka melakukannya dengan topeng. Bahkan densus 88 sebagai lembaga masih dijalankan hingga sekarang. Kecaman yang berupa kekhawatiran atas ancaman densus terhadap warga, bukankah ini sudah cukup untuk menuntaskan masalah densus. Toh situs-situs yang dianggap radikal kominfo langsung berani memblokir dengan dalih meresahkan masyarakat.

Standar Teroris Yang Rancu

Sebenarnya yang ingin penulis sampaikan dalam tulisan kali ini bukan kekejaman densus 88 kepada warga negara yang statusnya masih “terduga”. Tapi lebih kepada paradigma kita tentang teroris. Masalah ini diingkit karena anggapan yang memposisikan islam sebagai teroris. Atau kegagalan berpikir terhadap wacana terorisme yang terlalu cepat diterjemahkan.

Menuru saya, objektifitas dalam menilai sebuah kelompok atau seorangan adalah menjadi pening diterapkan. Terorisme dalam KBBI diartikan penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik). Jadi seseorang dinilai melakukan teror karena menimbulkan ketakutan dengan tujuan politiknya. Bahkan UU No 1 tahun 2002 tentang terorisme terorisme diberantas karena menghilangkan nyawa tanpa memandang korban dan menimbulkan ketakutan masyarakat secara luas, atau hilangnya kemerdekaan, serta kerugian harta benda. Dan pertimbangan lain UU ini adalah jaringan yang luas yang akan membahayakan negeri ini.

Sekiranya cukuplah bagi kita untuk bisa mengartikan siapa teroris sebenarnya. Penilaian ini harus selalu objektif setidaknya mengaju kepada UU terorisme. Sekaligus ini menafikan tuduhan “islam sebagai teroris”. Karena dengan kejelasan UU di Indonesia seharusnya siapapun bisa dijadikan yertuduh teroris jika memenuhi apa yang ditetapkan.

Jadi mari kita sudahi tuduhan “islam agama teroris”. Jangan standar ganda ala Amerika dalam menentukan teroris kita ikutik hingga muncul “islamofobia” (anti islam). Kita sudah berpijak lebih baik ketimbang demokrasi liberal mereka.

Wacana “Terorisme” untuk menghambat peradaban islam

Teori “The Clash of Ciivlizations” dari Samuel Huntington sudah mengajak kepada peperangan barat dengan islam. Yang faktanya kini antar kedua peradaban ini memang selalu berbenturan. Pasca “Cold war” jika mengacu kepada pemikiran Samuel Huntington maka barat yang audah menuntaskan komunisme harus memiliki musuh baru. Dari 6 hingga 8 peradaban yang ada di dunia mulai dari China, Jepang sampai Barat, Islamlah yang menjadi bebuyutan Barat kali ini.

Bukan apa-apa karena ini cukup beralasan. Satu-satunya peradaban yang pernah menyaingi barat hanyalah. Bahkan meskipun barat kini sangat melaju pesat tapi mereka sadar dengan kemungkinan islam mendirikan peradaban yang akan benar-benar diterima oleh masyarakat dunia. Ketakutan inilah yang menjadikan Amerika benar-benar anti-islam (islamofobia). Yang akhirnya mereka melakukan teror kesana kemari dengan ancaman sanksi ekonomi bahkan peperangan hingga menabrak batas keadilan PBB yang sebenarnya dibawah kekuasaan negara adidaya tersebut.
Pasca runtuhnya komunisme ketika “islamic threat” mulai menyebar luas sebenarnya ilmuwan dari berbagai kalangan memperdebatkan ini. Huntington termasuk orang yang mendorong Amerika untuk lebih memperhatikan kekuatan islam nantinya. Meskipun katanya, harus dibedakan antara islam militan dengan islam secara umum. (Saat berdialog dengan Anthony Gidden) Ia mengatakan, “... Tetapi islam militan merupakan ancaman nyata bagi barat melalui para teroris dan negara-nwgara bajingan (rouge states) yang aedang berusaha mengembangkan peraenjataan nukli, serta cara lainnya.”
Pada akhirnya gesekan antar kedua peradaban semakin keras pasca tragedi WTC 11 September 2001. Kebenaran teori Huntington seakan benar-benar nyata. Sampai-sampai dia mengeluarkan kesimpulan “politik global masa kini adalah zaman perang terhadap muslim” yang menurut DR. Adian Husaini dalam “Wajah Peradaban Barat” adalah sebuah kesimpulan yang terburu-bur, karena hanya didukung data-kuantitatif yang sederhana. Misalnya, menunjuk fakta bahwa frekuensi peperangan kaum muslimyang berperang satu sama lain atau perabf melawan non-muslim jauh lebih banyak sibandingkan peradaban lain.

Benar itu adalah sebuah fakta, tapi Huntington tidak menyebut apa penyebab konflik tersebut ? Justru darah kaum muslim lebih banyak bertumpah yang menjadi korban pembantaian dimana-mana. Bukannya lebih objektif justru dia lebih sadis dengan menganggap perlunya dilakukan “preemptive-strike” (serangan dini) terhadap islam.

Mitos yang dibangun pada era pasca “cold war” semakin mengental pasca peristiwa 11 September 2001. Ancaman yang dilakukan sebagian muslim yang anti-barat bukan tidak ada. Tapi masalahnya ini bercampur dengan isu yang sudah dikembangkan sebelumnya. Berkat kejadian ini gencatan Amerika terhadap terorisme semakin keras. Tapi lebih berbau melawan islamnya ketimbang terorisme. Karena mindset yang menguasai mereka adalah islam musuh dan sebagai ancaman nyata. Sehingga segala keputusan politik luar negeri Amerika selalu berpijak kepada ketakutan mereka sendiri.

Buktinya, Alqaeda yang dulunya partner setia Amerika saat menghadapi Uni Soviet. Justru diisukan jadi musuh dunia. Bukan berarti Alqaeda tidak mengusik Amerika sedikitpun tapi mitosnya itulah yang jadi membesarkan nama Alqaeda sebagai musuh bersama. Atas nama Alqaeda dan tragedi 11 September Amerika seakan menjadi duta teroris, pembela kedamaian dari teroris adalah Amerika. Setiap disuatu negara ada diduga membahayakan mereka langsung tuduhan teroris akan terpampang di negara tersebut. Begitu juga dengan organisasi islam atau lembaga lainnya.

Muslim dihantui dengan isu terorisme, fundamentalisme yang mereka genjot kencang demi menghentikan hegemoni islam yang terlihat akan muncul. Iraq, iran dab korut dianggap “rogue state” kareba nuklirnya. Amerika sangat takut ketika beberapa negara islam memeiliki senjata mematikan. Setiap negara islam memiliki nuklir maka isu sebagai negara teroris akan dimunculkan dmei menjadikannya musuh bersama. Padahal sebenarnya Amerika sendiri sebagai negara adikuasa sebenarnya mampu melakukan apaoun dengan kecanggihan senjatanya. Bukan hanya itu Israel yang jelas melakukan teror dan dibekali senjata yang amat canggih tidak pernah diangkatkan isu sebagai negara teroris.

Jadi wacana terorisme itu lebih kepada ketakutan Amerika terhadap peradaban islam yang semakin sini semakin menemukan tajinya. Kolaborasi keyakinan agama dan ilmu sains yang jadi pegangan Islam sejak dulu membuat bulu kuduk negara adidaya ini berdiri tanpa henti. Berbagai usaha akan mereka lakukan meski dengan “double standar”. Sayangnya persaingan ini jadi tidak fair karena Amerika justru acapkali melanggar aturan-aturan yang mereka buat. Bahkan mereka menabrak lembaga tertinggi internasional. Dan itu bukan masalah, karena Amerika termasuk negara yang memilik hak di PBB bersama 4 negara lainnya.

Semoga manusia umumnya khususnya Indonesia sadar akan kepentingan dibalik mitos Islam agama teroris. Bahwa sebenarnya ada yang lebih teroris dari pada teroris yang sering ditangkap densus 88.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yahya Sinwar dan Naluri Kepahlawanan Ja’far bin Abi Thalib

  Ja’far bin Abi Thalib turun ke medan perang dengan keberanian, meski ada pesan tak biasa dari Nabi Muhammad bagi pasukan Mu’tah. Zaid bin Haritsah wafat, Ja’far langsung mengamankan panji Islam, tanda Islam tidak tunduk pada banyaknya pasukan Romawi. Tangan kanannya terputus, Ja’far hanya peduli pada panji Islam agar terus berkibar. Kibaran panji Islam bukan soal simbol belaka, ada kobaran semangat yang akan mendorong tiga ribu umat Islam yang berjibaku. Giliran tangan kiri Ja’far yang ditebas, sisa tangannya bersusah payah menarik kembali panji Islam agar tetap berkibar. Ja’far wafat dalam kondisi yang mengenaskan, panji dilanjutkan oleh Ibnu Rawahah dan berujung kematian juga untu dirinya. Khalid bin Walid hadir memberi angina segar dan mampu mengusir ratusan ribu pasukan romawi dari Mu’tah. Ja’far merupakan sahabat yang memiliki kapasitas kelas kakap, kemampuan bernegosiasi di hadapan Raja Najasyi berhasil mengamankan puluhan umat Islam di Ethiopia. Saat berduel dengan ped...

Jaminan Dewasa bukan Usia

Masalah dewasa selalu menjadi persoalan di tengah kebingungan orang menentukan standar apa yang harus dipahami. Soal standar dewasa ini memang sangat relatif. Sulit mencari sudut pandang yang objektif, sebab ukuran dewasa seseorang sangat banyak pertimbangannya. Melihat dari sudut satu tidak menutup perbedaan yang terbentang dari sudut pandang satunya. Belum lagi dilihat dari banyak ilmu yang berbicara tentang seperti apa dewasa sebenarnya. Bahkan saat kita mengatakan “masyarakat indonesia belum terlalu dewasa menyikapi masalah” , justru pernyataan itu akan berbalik. Dewasa kah orang yang mengatakan masyarakat belum dewasa? Dalam mata hukum misalnya, secara umum  batas usia seorang dewasa adalah 21 tahun. Tapi dalam undang-undang lainnya menentukan batas usia yang berbeda dalam memandang kedewasaan. Menurut sebagian ahli menyebut batas awal dewasa adalah usia 18 tahun. Sedangkan hukum Islam menyebut seorang baligh adalah dengan ihtilam, tumbuhnya rambut kemaluan dan usia t...

Perempuan Menutup Aurat atau Lelaki Menahan Nafsu?

Polemik patriarki selalu jadi tema pembahasan para feminism. Ada sudut pandang lain yang menurut mereka lelaki terlalu spesial dari perempuan.  Salah satunya soal perintah perempuan harus menutup aurat, lalu dihubungkan dengan soal tindakan kriminal, pemerkosaan dan menjaga kehormatan. Feminism melihat bukan soal perempuan yang harus menutup aurat, tapi lelakilah yang harus menahan nafsu. Dari sinilah perseteruan dimulai! Menurut saya, tidak ada polemik yang perlu diperpanjang, entah siapa yang memulai, tapi pembahasan ini seharusnya selesai sejak kedua titah itu dituliskan. Jika dilanjutkan, akhirnya muncul ribuan pertanyaan. Kenapa perempuan harus bertanggung jawab atas nafsu lelaki? Kenapa perempuan yang harus jaga diri dari lelaki, bukan sebaliknya? Dari pihak lain akan bertanya juga dengan konteksnya.  Menutup aurat itu kewajiban bagi perempuan, begitu juga menahan nafsu wajib bagi lelaki. Ego masing-masing yang membuat perdebatan ini tidak ada endingnya. Ada satu perspek...