Modern yang serba pragmatis ini membuat langkah manusia seakan lebih cepat. Layaknya eskalator di mal-mal atau lift. Manusia bisa lebih menghemat tenaga tapi lebih efesien dalam waktu. Sebuah keuntungan untuk kemajuan negeri ini khususnya. Keterlambatan pelajar atau pekerja bisa diminimalisir dengan tersedianya alat-alat canggih hingga bisa lebih memfokuskan mereka pada pekerjaannya.
Fasilitas sekarang sedikitnya sudah lumayan dibanding sebelumnya. Tapi apa yang menyebabkan manusia zaman ini enggan menggunakan akalnya untuk lebih berkreasi atau menciptakan sesuatu untuk memajukan bangsanya. Kiranya Imam Alghazali tidak bisa pesan makanan online ketika dia sedang memfokuskan diri menulis “ihyau ulumuddin” di ruangan kecilnya, tapi dia juga harus makan. Semua itu terpenuhi dan buku yang berjilid-jilid itupun sudah beliau tuntaskan.
Mungkin kita boleh mengeluarkan hipotesa bahwa “sebuah karya tidak selalu bergantung kepada fasilitas”
Daulah Abbasiyah yang selalu disebut sebagai ‘ashru ddzahab itu bukan karena kedamaian dan kesejahteraan masyarakatnya, bukan pula teknologi dan penemuannya. Tapi ada yang lebih mendasar dari itu semua. Adalah tradisi ilmu yang sistematis dan canggih. Setiap orang bisa menulis satu buku bahkan lebih. Ulama, cendikiawan membaca buku-buku yunani dan persi lalu menterjemahkan dan memodifikasinya.
Tapi mengapa mereka begitu semangat dalam menulis kitab yang berjilid ? Konon setiap orang menulis buku dia akan dihadiahi oleh raja. Hadiah tersebut jika dalam rupiah sekarang sekitar 3-4 juta. Bahkan raja akan menambah hadiah dengan beratnya kiloan buku tersebut. Buku seberat 1kg akan ditukar dengan emas yang beratnya serupa. Begitu besarnya apresiasi bagi orang-orang yang memiliki keinginan untuk menciptakan, berkreasi.
Beda dengan keadaan penulis sekarang. Mereka harus bersusah payah mencari penerbit lalu setelah diterbitkan ada perjanjian atau kontrak. Tulisannya dibayar sepenuhnya atau tergantung penjualan. Jika tidak laku akhirnya buku terpaksa dijual murah. Bukan saya mengartikan penulis yang materialistik, tapi kita juga harus realistis terhadap karya seseorang.
Pada akhirnya satu dari sekian permasalahan merosotnya karya anak bangsa adalah minimnya apresiasi. Dalam hal ini kita tidak hanya bicara karya kepenulisan. Tapi dalam segala hal. Karena muda kita harus bisa unggul dalam segala aspek. Kita harus mampu berbisnis sehingga memberi lapangan kerja dan mengurangi pengangguran. Juga mampu berpolitik agar negeri ini dikuasai oleh orang yang benar-benat berniat baik memajukan bangsa.
Dengan itu, mari kita apresiasi karya anak dalam negeri, kita apresiasi pemuda yang mampu berorasi dan menggiring masa untuk kebenaran. Kita apresiasi pemuda yang menulis untuk menyadarkan sekawannya. Kita apresiasi pemuda yang memilki bisnis dan mendewasakan hidupnya. Kita apresiasi pemuda yang bergerak mengajak kepada kebaikan walaupun itu kecil bahkan tidak terlihat. Apresiasi-apresiasi inilah yang akan meningkatkan daya saing antar sesama untuk terus berkarya membangun negeri yang lebih dewasa.
Komentar
Posting Komentar