Langsung ke konten utama

Pendidikan Pemuda Dan Penyakit Sekolahisme


Permasalahan di Indonesia sepertinya sudah sangat terlihat konkrit dan mendalam. Hampir di segala bidang kerusakan sudah menyampaikan perwakilannya. Dari dunia pendidikan hingga para koruptor di kalangan DPR sudah sangat hambar didengar masyarakat manapun di Indonesia.

Mereka terdiam seakan tak punya langkah untuk melakukan perubahan besar (pesimis). Sedangkan yang terlihat mampu merombak kehancuran, terlihat hanya mampu tersenyum atas perintah boss. Dan hal-hal yang tidak beradab kini menjadi tontonan gratis, sebagaimana virus HIV berlarian kesana-kemari tanpa batas.

Sebagai sebuah bangsa Indonesia harus bisa mengobati penyakit yang kini diderita bukan menunggunya sampai akut.“bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menjangkau dan menemukan solusi atas berbagai tantangan yang menghinggapi dirinya.” begitulah anonim berkata. bahkan jika melihat kepada kaidah permasalahan dalam Alquran, Allah tidak memberikan sebuah ujian kepada manusia (bangsa) kecuali batas kemampuannya. Maka solusi bangsa Indonesia sebenarnya sudah tersedia Hanya bagaimana kita mencari dan berusaha. Tapi dalam perjalanannya, apa kita sedang bersama menuju arah sana. Atau justru sebagian besar memang membiarkan dan sengaja membiarkan bangsa dengan kepulauan terbesar ini hancur secara mental, keyakinan dan kekayaan alam.

Pendidikan adalah salah satu langkah besar untuk mengobati bobroknya mental dan pola pikir bangsa lebih lagi pemuda sebagai penerus bangsa. Di sisi lain pemuda sangat diagungkan sebagai agen of change tapi belahan lain justru pemuda yang paling besar mendapat pengaruh dari sekulerisasi pendidikan. Jika pendidikan sudah dijauhkan dari agama, sekularisme terus merajalela maka obat ini sudah terlihat seperti racun.

Dalam kitab almadzahib almu’ashiroh, sekularisme salah satunya didefinisikan ib’adud din ‘anil hayat (menjauhkan agama dari kehidupan). Barangkali beginilah pendidikan kita sehingga tak sampai pesan moral dan adab kepada para pelajar. Standar kelulusan bukan lagi taqwa dan akhlak mulia seperti dalam UU Pendidikan tapi hanya nilai-nilai berbentuk angka yang itupun sebagian sudah dimanipulasi. Akhirnya tidak ada educations effect berupa keilmuwan lebih lagi adab dan moral.

Kurikulum sekolah dan pendidik menjadi kunci dalam hal ini. Kualitas harus terjaga sebagaimana apa yang disampaikan kepada pelajar. Tercapai atau tidaknya bangsa ini kepada pancasila sila ke-2 tergantung pendidikannya. Jika pendidikan hanya sebatas nilai pelajaran dan melupakan penilaian sikap. Maka kemanusiaan yang adil dan beradab itu nonsense. Walaupun masih ada sarana pendidikan dalam ruang lingkup keluarga dan teman bermain. Tapi jika tidak ditopang dengan pendidikan formal yang benar hal ini akan terus bertabrakan.

Penyakit Sekolahisme

Pertama kali saya mendengar istilah sekolahisme dari Dr Adian Husaini dalam sebuah artikel yang berjudul “Dr Adian Husaini : Sekolahisme Bukan Pendidikan”. Tidak bisa disamakan antara sekolah dan pendidikan. Sifat pendidikan (tarbiyah) lebih fleksibel, rumah, tempat bermain dan sekolah itu sendiri adalah sarana untuk tarbiyah. Sedangkan sekolah hanya bagian dari pendidikan yang cukup berpengaruh. Pandangan sekolahisme adalah menganggap pendidikan itu sekolah, sekolah itu pendidikan. Seperti dikatakan Adian Husaini dalam artikel tersebut “... Sekolahisme adalah menyamakan pendidikan dengan sekolah”.

Efeknya adalah menganggap sekolah itu segalanya. Kelulusan menjadi harga mati ketimbang menanamkan nilai-nilai akhlak, adab dan moral. Melakukan segala sesuatu demi rapor yang baik. Bahkan akan sampai pada titik diskriminasi kepada mereka yang tidak sekolah (kuliah) atau mereka yang sekolah di tempat tidak familiar dan murahan. Sekolah akhirnya menjadi fashion pemuda.

Tragedi naas (efek sekolahisme) lainnya juga terdapat dikalangan mahasiswa. Mahasiswa yang dulunya seorang revolusioner ketika penggulingan orba kini terlihat sangat manja dengan jas alamamater, mereka berlindung di dalamnya. Ancaman nilai dari dosen lebih mereka takutI ketimbang kemelaratan masyarakat kelas bawah. Untuk ikut organisasi sebagai wasilah pengembangan diri kini menjadi hal kecil. Karena yang lebih besar adalah pendidikan ke jenjang lebih tinggi dengan cepat dan lulus cumlaude.

Denfan ini kita bisa melihat bagaimana vitalnya pendidikan bagi pemuda. kita sebagai pemuda bisa mengangkat martabat bangsa ini jika ikut berperan, peduli pendidikan kita dan tidak lupa sekitar. Karena pendidikan kita bisa membangun peradaban bukan justru melemahkan karakter. Dengan pendidikan (dimanapun itu) kita berperan kepada negara bukan malah tauran sana-sini sesama pemuda. Pemuda bisa memulai langkah peradaban dengan pendidikan. Maksimalkan setiap pemuda dengan spesialisnya sehingga bangsa ini maju dalam segala aspek, ekonomi, politik, budaya, SDM memadai, kekayaan alam ditangan kita. Semoga saja. Wallahua’lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yahya Sinwar dan Naluri Kepahlawanan Ja’far bin Abi Thalib

  Ja’far bin Abi Thalib turun ke medan perang dengan keberanian, meski ada pesan tak biasa dari Nabi Muhammad bagi pasukan Mu’tah. Zaid bin Haritsah wafat, Ja’far langsung mengamankan panji Islam, tanda Islam tidak tunduk pada banyaknya pasukan Romawi. Tangan kanannya terputus, Ja’far hanya peduli pada panji Islam agar terus berkibar. Kibaran panji Islam bukan soal simbol belaka, ada kobaran semangat yang akan mendorong tiga ribu umat Islam yang berjibaku. Giliran tangan kiri Ja’far yang ditebas, sisa tangannya bersusah payah menarik kembali panji Islam agar tetap berkibar. Ja’far wafat dalam kondisi yang mengenaskan, panji dilanjutkan oleh Ibnu Rawahah dan berujung kematian juga untu dirinya. Khalid bin Walid hadir memberi angina segar dan mampu mengusir ratusan ribu pasukan romawi dari Mu’tah. Ja’far merupakan sahabat yang memiliki kapasitas kelas kakap, kemampuan bernegosiasi di hadapan Raja Najasyi berhasil mengamankan puluhan umat Islam di Ethiopia. Saat berduel dengan ped...

Jaminan Dewasa bukan Usia

Masalah dewasa selalu menjadi persoalan di tengah kebingungan orang menentukan standar apa yang harus dipahami. Soal standar dewasa ini memang sangat relatif. Sulit mencari sudut pandang yang objektif, sebab ukuran dewasa seseorang sangat banyak pertimbangannya. Melihat dari sudut satu tidak menutup perbedaan yang terbentang dari sudut pandang satunya. Belum lagi dilihat dari banyak ilmu yang berbicara tentang seperti apa dewasa sebenarnya. Bahkan saat kita mengatakan “masyarakat indonesia belum terlalu dewasa menyikapi masalah” , justru pernyataan itu akan berbalik. Dewasa kah orang yang mengatakan masyarakat belum dewasa? Dalam mata hukum misalnya, secara umum  batas usia seorang dewasa adalah 21 tahun. Tapi dalam undang-undang lainnya menentukan batas usia yang berbeda dalam memandang kedewasaan. Menurut sebagian ahli menyebut batas awal dewasa adalah usia 18 tahun. Sedangkan hukum Islam menyebut seorang baligh adalah dengan ihtilam, tumbuhnya rambut kemaluan dan usia t...

Perempuan Menutup Aurat atau Lelaki Menahan Nafsu?

Polemik patriarki selalu jadi tema pembahasan para feminism. Ada sudut pandang lain yang menurut mereka lelaki terlalu spesial dari perempuan.  Salah satunya soal perintah perempuan harus menutup aurat, lalu dihubungkan dengan soal tindakan kriminal, pemerkosaan dan menjaga kehormatan. Feminism melihat bukan soal perempuan yang harus menutup aurat, tapi lelakilah yang harus menahan nafsu. Dari sinilah perseteruan dimulai! Menurut saya, tidak ada polemik yang perlu diperpanjang, entah siapa yang memulai, tapi pembahasan ini seharusnya selesai sejak kedua titah itu dituliskan. Jika dilanjutkan, akhirnya muncul ribuan pertanyaan. Kenapa perempuan harus bertanggung jawab atas nafsu lelaki? Kenapa perempuan yang harus jaga diri dari lelaki, bukan sebaliknya? Dari pihak lain akan bertanya juga dengan konteksnya.  Menutup aurat itu kewajiban bagi perempuan, begitu juga menahan nafsu wajib bagi lelaki. Ego masing-masing yang membuat perdebatan ini tidak ada endingnya. Ada satu perspek...