Langsung ke konten utama

Kesederhanaan Sebuah Cita-cita

Antologi Cerpen Muda 18 FLP Jakarta

Cuaca tenang di pagi yang indah ini, disertai hembusan angin yang menusuk dan kicauan burung pipit yang bersamaan dengan suara pijakan kaki yang semakin mendekat. “ini de, kopi susunya.” Ujar bibi pembantu padaku, sesuai dengan minuman pagi favorit ku, sambil melihat lambaian daun pisang kesana kemari dan rintikan hujan yang mulai membesar ku minum kopi susu itu, sampai terdengar suara gelinding kursi roda yang kian lama semakin mendekatiku, ku lihat sosok yang sudah berumur tua, kulit keriput yang terlihat terang dengan senyumannya, entah itu pertanda senang atau sedih, karena apapun yang terjadi beliau selalu dalam keadaan tersenyum.
“kamu nggak tidur ki, biasanya kalo pagi dingin gini udah mimpi kan? Hhe” Tanya kakek sambil senyum. “hha, bisa aja kek, Rizki lagi merenung aja ni,” balasku, sambil berharap kakek menanyakan akan apa yang aku renungkan.
 “ohh, renungin apa ki? Ga biasanya serius gini, hhe” Tanya kakek lagi seperti biasa dengan senyumannya. Akhirnya ditanyain juga ucapku dalam hati.
“ini kek, lagi merenung nanti kalo Rizki udah besar mau jadi apa ya???” Tanya saya dengan  bingung. “soalnya temen-temen kemarin di MA (Madrasah Aliyah) ditanya tentang cita-cita …”
 “lantas kamu jawab apa?” potong kakek dengan pertanyaan tanpa senyuman, mungkin pertanda serius. “ga jawab kek, cuma bilang belum punya..” jawab ku agak tegang,
“hmmh hha..” senyum kakek, ternyata tidak sesuai perkiraan, dan kakek tersenyum kembali seperti biasa, tapi dia kembali bertanya dengan wajah yang serius lagi, membuatku bingung, apakah ini benar serius atau malah seperti tadi “kenapa hanya bilang belum punya, apa memang kamu belum punya cita-cita?” wajahnya semakin tajam menatap sambil menunggu jawabanku. Melihat keadaan yang semakin sempit,
 saya mencoba menjawab dengan so bijak “kalo keinginan untuk menjadi apa di masa depan sering kepikiran, cumin saking banyaknya keinginan membuat saya bingung apa cita-cita sebenarnya, seakan tidak punya cita-cita”.
“berarti kamu belum mengenali diri sendiri” sambut kakek dengan cepat.
 “terus,, seharusnya bagaimana kek?” tanyaku dengan keadaan yang semakin bingung.
“seharusnya..” kakek menghela nafas sebelum melanjutkan perkataannya.
“seharusnya, terlebih dahulu kamu mengenali diri sendiri, sehingga dengan mudah bisa menyesuaikan apa yang dibutuhkan, apa yang ada dalam diri, kemampuan apa yang kamu miliki” jawab kakek dengan tenang masih tanpa senyuman.
“ atau jangan-jangan kamu belum mengerti apa itu cita-cita ki ?”lanjut kakek denga pertanyaan yang membuatku tambah bingung,
“bukannya cita-cita itu keinginan atau harapan seseorang untuk menjadi apa ia nanti..” jawabku merasa benar,
“kurang tepat ki..” singkatnya. “terus apa kek..?” tanyaku penasaran.
“sudahlah kalau gitu, sekarang kita cari apa itu cita-cita. Yuk ikut kakek sambil temenin jalan-jalan” ajak kakek kepadaku.
“mhh,, ya boleh tapi pakai mobil, kan diluar hujan kek” jawab ku dengan sedikit tawaran.
Anggukan kepala kakek cukup menjawab tawaranku tadi, kakekpun mengayuhkan kursi rodanya menjauh dari tempat tadi, sayapun ikut beranjak dari tempat duduku untuk bersiap-siap dengan ajakan kakek.
Simple saja, saya hanya mengenakan sehelai kain kaus bergambar jari empat denga tulisan save Egypt, dengan tas berisi air mineral yang masih hangat persiapan takutnya nanti haus tanpa harus membeli ke warung sekitar.
“ayo, berangkat..”panggil kakek, mendatangi saya dengan gaya yang lebih sederhana dari saya, kaos polos tanpa gambar berkerah dengan celana. Kita pun berangkat menuju tempat yang dituju dengan di supiri supir pribadi kakek tanpa saya tahu kemana tujuan akhir mobil  ini. Tak ada gerak tak ada kata saya terus terbayang akan cita-cita, harapan dan mengenali diri sendiri. “plok..” kakek pukul bahu saya, “jangan ngelamun..” ujarnya,
“gimana gak ngelamun kek, saya diam di mobil tanpa tahu arah tujuan, bikin bingung ni kek.” Jawab saya.
“hmmh..” kakek tersenyum degan sinis. “nanti kamu tahu sendiri kemana tujuan kita” lanjutnya.
“memang kemana kek..?”sambut saya denga pertanyaan  lagi.
“kita ke tempat dimana kamu akan tahu seperti apa cita-cita itu.” Jawab dengan singkat dan bijak dan masih tanpa senyuman.
Mendengar jawaban itu, saya hanya terdiam di mobil dengan duduk lesu ditambah rasa penasaran tentang dimana dan bagaiamana tempat yang kakek maksud.

Setengah jam kemudian…

Samapai sudah ke tempat tujuan, sayapun turun dari mobil bersama kakek dengan kursi rodanya yang di dorong oleh supir tadi,  saya hanya menguntit kakek dari belakang, belum terbayang tempat apa yang kakek maksud karena pinggir kanan kiri saya hanya pepohonan yang rindang  dan buah-buahan yang beraneka ragamnya, “assalamualaikum de.. “ sapa bapak-bapakdi perkebunan itu sambil memegang cangkul dan air putih di botol. “waalaikumsalam pa.. “ jawabku dengan sanyuman.

Tak lama dari tempat itu, sampailah depan saya  sebuah rumah cukup besar dengan gaya klasik, jendela di setiap 3 meter berjejer panjaang, dengan halaman dipenuhi saranauntuk bermain seperti ayunan, rerumputan, dan kursi-kursi santai . “nah, ini panti asuhan milik temen kakek yang sudah meninggal 6 tahun yang lalu, kamu keliling daerah sini saja ya, kakek mau ketemu dengan ibu penjaga disini dulu.” Sedikit bercerita sambil menyuruh saya untuk keliling panti asuhan bernama “miftahul jannah” ini. Kakekpu pergi masuk rumah klasik itu, saya langsung menuju kursi di tempat sarana bermain anak-anak panti asuhan ini, walaupun cukup aneh, tempat bermain anak-anak tapi tidak seramai di TK saya dulu. Akhkirnya saya hanya duduk sambil membuka gadget, setelah beberapa menit saya memandang sekitar dan melihat seorang sedang duduk di sudut kanan berhadap ke kain canvas dengan pandangan yang kuat, serius dan khusyu’, “akhirnya saya temukan seorang anak juga” kata saya dalam hati. Sayapun dekati dia dari arah belakang, semakin jelas kalau dia sedang menggambar sesuatu yang tidak terlihat jelass dari jarak saya berdiri, setelah semakin dekat jarak saya dengannya,tanpa melirik apa-apa lagi wujud dia seorang perempuan semakin jelas dengan gambar di canvasnya yang belum sempurna. Sayapun mendekatinya dan membuka percakapan dengannya.
“hai de..!”
“hai, kakak pengunjung ya?” balas dia dengan senyum dan akrab.
“iya de, saya bareng kakek temennya ibu disini” jawabku dengan senyum pula.
“ade umur berapa?” Tanyaku.
‘saya 5 tahun kak.”jawabnya singkat.
“oh,, tapi hebat ya, udah gambar di canvas hhe” pujiku sambil senyum.
“ya, seperti inilah, sehari-hari saya emang seperti ini kak” jawab dia.
Saya cukup kagum dengan keseharian dia berhadapan denga canvas. Mata saya pun masih terfokus dan bingung terhadap gambar yang masih belum sempurna itu. Rasa penasaran ini membuat saya harus bertanya lagi.
“sebenernya, ade lagi gambar apa” tanyaku ke sekian kalinya dibarengi senyuman.
“saya lagi menggambar cita-cita kak”.
Kata-kata dia langsung mengagetkan hati ini, detak jantung jadi tidak seperti biasa, aura yang muncul menjadi berbeda setelah mendengar yang anak itu ucapkan. Karena itu mengingatkan akan diri ini yang kebingungan dengan cita-cita. Jawabannya mebmbuat saya semakin penasaran dan harus rela menunggu gambarnya selesai hingga akhir, sayapun masih menunggu di belakangnya, menonton bagaimana di menggambar di atas canvas.

Setelah 15 menit, gambarnya pun selesai, diapun duduk dengan tenang sambil minum air di gelasnya. Sayapun perhatikan lukisannya yang menggambarkan taman bermain serta anak-anak yang sedang bermain disana, hanya itu yang tergambar di canvasnya, tapi justru itu membingungkan, karena apa kaitannya dengan cita-cita yang dia maksud. 
“wahh, sudah selesai ya. Bagus juga gambarnya,  imajinasi yang tinggi. Tapi yang kamu maksud dengan cita-cita tadi de?” puji saya sambil bertanya.
“ya inilah cita-cita aku kak,” jawabnya singkat.
“cita-cita? Inikan mudah dan sederhana de, ade cukup pergi taman bermain dan bermain disana sepuasnya.”  coba balas perkataannya dengan masih dikelilingi kebingungan.
“bagi kaka dengan keadaan normal mungkin itu hal biasa, tapi bagiku itu yang sangat membahagiakan, berlari lepas tanpa halangan, berjalan kemanapun tujuannya apapun medannya, karena menurut ku bahagia bisa tercapai dengan sendirinya jika kita bisa melakukan apa yang kita suka.”
Ya, hanya diam dan tercengan kaget. Seorang gadis kecil berumur 5 tahun bisa mnegerti arti hidup, sedangkan saya hanya bisa bergantung dan menyalahkan ini itu.
“kamu bisakan seperti mereka, bukannya kamu baik-baik saja.” Ucapku, mencoba tenang dalam kebingungan.
Sambil menunjuk ke kaki kirinya yang sedari tadi tidak saya perhatikan karena tertutup rok, dia berkata “aku menderita cacat kaki sejak lahir, jadi saya tidak bisa sebebas anak-anak lain saat bermain ataupun berlari dan itu adal;ah salah satu yang saya harapkan”
Seketika itu saya terdiam, termenung anak sekecil dia sudah harus menghadapi beban hidup yang sangat berat, sedangkan saya yang diberikan sedikit cobaan sealu saja mengeluh dan mengeluh. Kaki yang berdiri mendampingi pelukis cilik itu tak terasa pegal walau berdiri hingga setengah jam, pelajaran yang dia sampaikan mebuat pegal itu hilang. Dari sini saya mengambil pelajaran bahwa cita-cita itu bukan sekadar profesi di masa yang akan datang, tapi apapun harapan atau yang ingin kita lakukan  dan nantinya cita-cita yang membuat kita bertahan hidup, maka-maka cita-cita yang mulia akan membuat hidup kita lebih mulia.
“ayoo ki, kita pulang” panggilan dari belakan tubuh mengajak untuk pulang, ternyata kakek sudah bersiap di depan mobil untuk pulang.
“kakak pulang dulu ya de, semoga cita-cita itu bisa tercapai” pamit saya kepada dia, saya pun langsung menuju kakek, “terimakasih ya kek” ucapan terimakasih ku kpada kakek telah membawa ke tempat ini sehingga saya mengerti apa itu sebuah cita-cita.
Dan akhirnya kakek pun kembali tersenyum seperti sedia kala, setelah dari pagi dia tidak mengeluarkan senyuman manisnya itu, senyumannya sudah cukup menjawab semua pertanyaanku. Terima kasih kakek.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yahya Sinwar dan Naluri Kepahlawanan Ja’far bin Abi Thalib

  Ja’far bin Abi Thalib turun ke medan perang dengan keberanian, meski ada pesan tak biasa dari Nabi Muhammad bagi pasukan Mu’tah. Zaid bin Haritsah wafat, Ja’far langsung mengamankan panji Islam, tanda Islam tidak tunduk pada banyaknya pasukan Romawi. Tangan kanannya terputus, Ja’far hanya peduli pada panji Islam agar terus berkibar. Kibaran panji Islam bukan soal simbol belaka, ada kobaran semangat yang akan mendorong tiga ribu umat Islam yang berjibaku. Giliran tangan kiri Ja’far yang ditebas, sisa tangannya bersusah payah menarik kembali panji Islam agar tetap berkibar. Ja’far wafat dalam kondisi yang mengenaskan, panji dilanjutkan oleh Ibnu Rawahah dan berujung kematian juga untu dirinya. Khalid bin Walid hadir memberi angina segar dan mampu mengusir ratusan ribu pasukan romawi dari Mu’tah. Ja’far merupakan sahabat yang memiliki kapasitas kelas kakap, kemampuan bernegosiasi di hadapan Raja Najasyi berhasil mengamankan puluhan umat Islam di Ethiopia. Saat berduel dengan ped...

Jaminan Dewasa bukan Usia

Masalah dewasa selalu menjadi persoalan di tengah kebingungan orang menentukan standar apa yang harus dipahami. Soal standar dewasa ini memang sangat relatif. Sulit mencari sudut pandang yang objektif, sebab ukuran dewasa seseorang sangat banyak pertimbangannya. Melihat dari sudut satu tidak menutup perbedaan yang terbentang dari sudut pandang satunya. Belum lagi dilihat dari banyak ilmu yang berbicara tentang seperti apa dewasa sebenarnya. Bahkan saat kita mengatakan “masyarakat indonesia belum terlalu dewasa menyikapi masalah” , justru pernyataan itu akan berbalik. Dewasa kah orang yang mengatakan masyarakat belum dewasa? Dalam mata hukum misalnya, secara umum  batas usia seorang dewasa adalah 21 tahun. Tapi dalam undang-undang lainnya menentukan batas usia yang berbeda dalam memandang kedewasaan. Menurut sebagian ahli menyebut batas awal dewasa adalah usia 18 tahun. Sedangkan hukum Islam menyebut seorang baligh adalah dengan ihtilam, tumbuhnya rambut kemaluan dan usia t...

Perempuan Menutup Aurat atau Lelaki Menahan Nafsu?

Polemik patriarki selalu jadi tema pembahasan para feminism. Ada sudut pandang lain yang menurut mereka lelaki terlalu spesial dari perempuan.  Salah satunya soal perintah perempuan harus menutup aurat, lalu dihubungkan dengan soal tindakan kriminal, pemerkosaan dan menjaga kehormatan. Feminism melihat bukan soal perempuan yang harus menutup aurat, tapi lelakilah yang harus menahan nafsu. Dari sinilah perseteruan dimulai! Menurut saya, tidak ada polemik yang perlu diperpanjang, entah siapa yang memulai, tapi pembahasan ini seharusnya selesai sejak kedua titah itu dituliskan. Jika dilanjutkan, akhirnya muncul ribuan pertanyaan. Kenapa perempuan harus bertanggung jawab atas nafsu lelaki? Kenapa perempuan yang harus jaga diri dari lelaki, bukan sebaliknya? Dari pihak lain akan bertanya juga dengan konteksnya.  Menutup aurat itu kewajiban bagi perempuan, begitu juga menahan nafsu wajib bagi lelaki. Ego masing-masing yang membuat perdebatan ini tidak ada endingnya. Ada satu perspek...