Langsung ke konten utama

Hujan itu Berkah


Sebagian wilayah indonesia mulai diguyur hujan, sudah pasti Jakarta selalu menjadi sorotan dari setiap penjuru wilayah Indonesia, apalagi kalau bukan karena banjir yang melanda ibu kota NKRI Indonesia di setiap musim hujam datang menghampiri, ini seakan menjadi hal biasa atau bahkan keharusan dan lebih parah lagi akan menjadi aneh di mata kita jika hujan datang dan banjir tidak melanda Jakarta, munculnya opini seperti itu membuat pesimis warga Jakarta khususnya, seakan jika hujan, banjir adalah hal yang harus diterima dan wajar bagi warga Jakarta.

Tapi tetap bukan manusia atau bahkan dukun sekalipun yang menentukan  apa yang terjadi di masa yang akan datang , Allah hentikannya, dan Allah menurunkannya karena hujan adalah termasuk perkara penting bagi kehidupan manusia dan memiliki peranan penting bagi kehidupan manusia yang jelas-jelas setiap kita membutuhkan air. Yang bisa dilakukan manusia hanyalah berusaha dan berusaha seperti halnya banjir di Jakarta tidak bisa manusia hanya berpasrah ketika hujan datang sehingga jadilah banjir tapi manusia bisa berusaha dan ikhtiar dengan coba mencegah apa-apa yang menyebabkan banjir bukan justru menambah kemungkinan itu dengan hanya pasrah.

Air Hujan ynag Terdzalimi

Di saat keadaan manusia yang tidak mengusahakan dan mencoba untuk menghindari dari musibah-musibah yang akan terjadi, di sisi lain justru manusia hanya menyalahkan keadaan semata yang tidak tahu menahu akan apa yang terjadi, seperti halnya banjir maka korban celaannya adalah air hujan yang turun terus menerus dari pagi hingga malam, berhari-hari, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, selalu itu yang menjadi sasaran cemoohan dan celaan, padahal turun hujan adalah berkah dan patut disyukuri dan seharusnya turunnya hujan memberikan kegembiraan bagi siapa saja yang merasakannya, Allah berfirman dalam Al-Qur an :
اللَّهُ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ فَتُثِيرُ سَحَابًا فَيَبْسُطُهُ فِي السَّمَاءِ كَيْفَ يَشَاءُ وَيَجْعَلُهُ كِسَفًا فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلَالِهِ فَإِذَا أَصَابَ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُون(َ48) 
Artinya : “Allah, Dialah yang mengirimkan angin, lalu angin itu yang menggerakan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendakinNya dan menjadikannya bergumpa-gumpal, lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya,maka apabila hujan itu turun mengenai hamba-hambanya yang dikehendakinya, tiba-tiba mereka menjadi gembira (Q.S Ar-rum : 48)
Tapi seperti inilah manusia ketika hujan datang dan banjir maka air hujan yang disalahkan, jika hujan tak muncul dan gersang hujan pun dicela dan dituntut kehadirannya.
Bagaimana mungkin kita salahkan hujan yang turun sedangkan Allah lah yang menurunkan hujan itu, apakah kita mencela apa yang Allah berikan kepada kita??? Apakah kita akan mengingkari bahwa itu Rizqi Allah untuk kita??? Tentu hal yang tidak wajar mendustai ciptaanNya, padahal  jelas-jelas air itu nikmat terbesar dari Allah ; manusia tercipta dari setetes air (mani)  
فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ (5) خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ (6)
. Lalu bagaimana manusia mendustai nikmat besar ini hanya karena banjir yang melanda mereka  dan sudah jelas musibah itu disebabkan karena ulah manusia sendiri.
Jikalau manusia masih saja menyalahkan ciptaan Allah ini sebab terjadinya musibah, sedangkan zaman Nabi Nuh air itu justru menjadi pahlawan kemenangan dan pembuktian kebesaran Allah, ketika dakwah Nabi Nuh AS telah maksimal selama 950 tahun. Maka Allah akan berikan azab berupa banjir kepada kaumnya, beliau pun bersama pengikutnya membuat sebuah kapal perahu besar yang hingga kini diketahui belum ada yang menyainginya yang mampu menampung seluruh umat pengikutnya hingga hewan-hewan sekalipun masuk di dalamnya. Dan Nabi Nuh memanggil siapa saja pengikutnya untuk ikut naik perahu besar ini tidak terkceuali anak dan istrinya yang mereka termasuk orang-orang yang menolak dakwah Nabi Nuh. Ketika tetap mengajak anaknya dalam Al-Quran Surat Hud 42-43
وَنَادَى نُوحٌ ابْنَهُ وَكَانَ فِي مَعْزِلٍ يَا بُنَيَّ ارْكَبْ مَعَنَا وَلَا تَكُنْ مَعَ الْكَافِرِينَ (42)
“… Dan Nuh memanggil anaknya ketika dia (anak itu) berada di tempat yang jauh terpencil, “wahai anak ku! Naiklah (ke kapal) bersama kami, dan janganlah engkau bersama orang-orang kafir” (Hud : 42)
Tapi si anak tetap menolak ajakan sang Ayah  dengan sombong dalam ayat selanjutnya.
قَالَ سَآوِي إِلَى جَبَلٍ يَعْصِمُنِي مِنَ الْمَاء 
“Dia (anaknya) menjawab,”aku  akan  mencari perlindungan ke gunung yang dapat menghindarkan aku dari air bah…” (Hud : 43)
Mendengar jawaban dari anaknya Nuh AS berkata pada anaknya (masih pada ayat 43)
قَالَ لَا عَاصِمَ الْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِلَّا مَنْ رَحِمَ وَحَالَ بَيْنَهُمَا الْمَوْجُ فَكَانَ مِنَ الْمُغْرَقِينَ (43)
(Nuh) berkata, “tidak ada  yang melindungi dari siksaan Allah yang Maha Penyayang”. Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya maka dia (anaknya) termasuk orang yang ditenggelamkan. (Q.S Hud : 43)
 Nabi Nuh pun meninggalkannya dan karena kesombongan dan keangkuhan. anaknyapun tidak bisa selamat dari tentara Allah yang maha kuasa air banjir yang menenggelamkan si anak dan umatnya yang tidak taat dan patuh pada ajarannya.
Tak hanya itu, bukti air itu berkah terjadi juga pada Musa kecil yang mengalir di sungai dan mengantarkan kepada istri Firaun yang akhirnya menjadi anak angkatnya dan satu-satunya anak laki-laki yang hidup di zaman firaun atas peraturannya yang harus membunuh setiap anak laki-laki yang baru lahir. Belum ketika kekuatan air (laut) yang dibelah oleh tongkat Musa sehingga lagi-lagi air melahap pasukan firaun yang mengejar Musa dan umatnya.
Ketika air justru menjadi tentara dan penolong bagi para Nabi terdahulu, apakah kita mendustakan nikmatnya karena banjir yang ada..?


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yahya Sinwar dan Naluri Kepahlawanan Ja’far bin Abi Thalib

  Ja’far bin Abi Thalib turun ke medan perang dengan keberanian, meski ada pesan tak biasa dari Nabi Muhammad bagi pasukan Mu’tah. Zaid bin Haritsah wafat, Ja’far langsung mengamankan panji Islam, tanda Islam tidak tunduk pada banyaknya pasukan Romawi. Tangan kanannya terputus, Ja’far hanya peduli pada panji Islam agar terus berkibar. Kibaran panji Islam bukan soal simbol belaka, ada kobaran semangat yang akan mendorong tiga ribu umat Islam yang berjibaku. Giliran tangan kiri Ja’far yang ditebas, sisa tangannya bersusah payah menarik kembali panji Islam agar tetap berkibar. Ja’far wafat dalam kondisi yang mengenaskan, panji dilanjutkan oleh Ibnu Rawahah dan berujung kematian juga untu dirinya. Khalid bin Walid hadir memberi angina segar dan mampu mengusir ratusan ribu pasukan romawi dari Mu’tah. Ja’far merupakan sahabat yang memiliki kapasitas kelas kakap, kemampuan bernegosiasi di hadapan Raja Najasyi berhasil mengamankan puluhan umat Islam di Ethiopia. Saat berduel dengan ped...

Jaminan Dewasa bukan Usia

Masalah dewasa selalu menjadi persoalan di tengah kebingungan orang menentukan standar apa yang harus dipahami. Soal standar dewasa ini memang sangat relatif. Sulit mencari sudut pandang yang objektif, sebab ukuran dewasa seseorang sangat banyak pertimbangannya. Melihat dari sudut satu tidak menutup perbedaan yang terbentang dari sudut pandang satunya. Belum lagi dilihat dari banyak ilmu yang berbicara tentang seperti apa dewasa sebenarnya. Bahkan saat kita mengatakan “masyarakat indonesia belum terlalu dewasa menyikapi masalah” , justru pernyataan itu akan berbalik. Dewasa kah orang yang mengatakan masyarakat belum dewasa? Dalam mata hukum misalnya, secara umum  batas usia seorang dewasa adalah 21 tahun. Tapi dalam undang-undang lainnya menentukan batas usia yang berbeda dalam memandang kedewasaan. Menurut sebagian ahli menyebut batas awal dewasa adalah usia 18 tahun. Sedangkan hukum Islam menyebut seorang baligh adalah dengan ihtilam, tumbuhnya rambut kemaluan dan usia t...

Perempuan Menutup Aurat atau Lelaki Menahan Nafsu?

Polemik patriarki selalu jadi tema pembahasan para feminism. Ada sudut pandang lain yang menurut mereka lelaki terlalu spesial dari perempuan.  Salah satunya soal perintah perempuan harus menutup aurat, lalu dihubungkan dengan soal tindakan kriminal, pemerkosaan dan menjaga kehormatan. Feminism melihat bukan soal perempuan yang harus menutup aurat, tapi lelakilah yang harus menahan nafsu. Dari sinilah perseteruan dimulai! Menurut saya, tidak ada polemik yang perlu diperpanjang, entah siapa yang memulai, tapi pembahasan ini seharusnya selesai sejak kedua titah itu dituliskan. Jika dilanjutkan, akhirnya muncul ribuan pertanyaan. Kenapa perempuan harus bertanggung jawab atas nafsu lelaki? Kenapa perempuan yang harus jaga diri dari lelaki, bukan sebaliknya? Dari pihak lain akan bertanya juga dengan konteksnya.  Menutup aurat itu kewajiban bagi perempuan, begitu juga menahan nafsu wajib bagi lelaki. Ego masing-masing yang membuat perdebatan ini tidak ada endingnya. Ada satu perspek...