Langsung ke konten utama

Tarbiyah Anak Sejak Dini, Ujian dan Amanat Jadi Nikmat



@lomba karya tulis bertema Tarbiyah Anak untuk Keluarga Islami

Banyak yang makan buah tapi tak tahu dimana pohonnya, tak sedikit pula yang minum air dan tidak tahu dari mata air mana air itu keluar, lebih banyak lagi yang tersenyum dengan orang yang ketemu di jalan tanpa tahu siapa pribadi itu, juga sangat banyak yang menginjakan kakinya tanpa tahu tanah jenis apa yang ia injak atau bahkan ternyata bukan tanah sedang ia injak. Maka  seperti itulah tarbiyah, ribuan orang mengatakannya bahkan jutaan orang memperbincangkan. Tapi apa?? Tak sebanyak itu yang memahami apa itu tarbiyah. Sehingga tak ayal lagi banyak masyarakat awam yang melakukannya tapi sayang mereka tidak menyadari bahwa yang dilakukannya adalah bagian dari tarbiyah.
Sudah jelas bahwa islam membawa tarbiyah yang baik. Tidak hanya perihal akhirat, duniawipun islam mendidik dari segala aspek. Termasuk tarbiyah dalam mendidik anak demi terwujudnya kelurga islami,  bahkan tarbiyah bagi anak sangat banyak dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari  suatu hari pernah dating kepada Rasul orang desa yang tidak pernah menciumi anaknya, lalu Rasul berkata “tidak kuasa aku menolongmu jika Allah mencabut sifat belas kasih darimu”. Sehingga siapa yang tidak mengakui bahwa hal  terpenting pasti dimulai dari awal maka semakin mudah selanjutnya jika bisa berawal dengan baik. Dan masa kanak-kanak adalah awal dari segi pertumbuhan setiap manusia, sehingga tanpa perlu penafsiran panjang bahwa masa kanak-kanak adalah awal dari penentuan bagi diri dirinya sendirinya.
Maka betapa penting tarbiyah bagi si anak, untuk apa? Tentunya, perbaikan masa depan dia dipertanggungjawabkan dari masa kecilnya, siapa yang menyangkal dengan pernyataan ini, seorang Aristotelespun berkata “pendidikan adalah perbekalan terbaik saat lanjut usia”. Tak perlu kita memaknakan lanjut usia itu masa tua, karena dengan pendidikan usia yang selanjutnya atau waktu-waktu setelah pendidikan pasti akan merasakan efek positif dari pendidikan sebelumnya walau belum menjadi tua. Dan hal penting yang tidak bisa dilupakan, bila dikaitkan dengan pentingnya tarbiyah untuk lanjut usia, maka tarbiyah tidak bisa hanya dikotak-kotakan atau bahkan ada persempitan makna tarbiyah sehingga bermakna pembelajaran di kelas atau sekolah saja, padahal pendidikan itu lebih umum disbanding dengan pembelajaran. Lihat saja setiap sekolah bisa dengan bebas dan mudah menerapkan tarbiyah bersamaan dengan belajar di suatu ruang lingkup sekolah, sedangkan orang tua sangat sulit menerapkan pembelajaran pada si bayi yang baru lahir beberapa bulan.
Mengapa begitu serius islam dalam permasalahan tarbiyah bagi si anak, padahal anak itu masih polos, yang dia tahupun mungkin hanya papa dan mama. Justru itulah sebabnya, karena dia masih polos dan tidak tahu apa-apa. Maka islam  sangat cermat memandu bagaimana tarbiyah bagi sang buah hati demi menjadi perwakilan dari sebaik-baik umat yang Allah janjikan. Sangat jelas kenapa islam adalah agama tepat untuk tarbiyah dalam segala hal. Karena 14 abad yang lalu melalui Al-quran menceritakan melalui kisah Lukman bagaimana dia mendidik anaknya dimulai dari tauhidullah, lalu percaya hari akhir dan pendidikan syariah. Ini menjadi bukti bahwa tarbiyah sudah menjadi titik penting dalam islam sejak lama, maka tidak perlu menjadi pertanyaan sulit, jika banyak ulama-ulama besar bermunculan pada zaman dulu yang berasal dari ayah-ayah yang mana dia orang besar pula.
Inilah bukti I’tiqad kuat orang tua atas amanat, ujian dan nikmat dari Allah yang berupa anak. Karena amanat yang berat, ujian yang rumit dan nikmat yang tiada duanya, maka tarbiyah semenjak dinilah yang bisa menjawab semua itu, karena tumbuh dan berkembang bersama tarbiyah akan menenangkan kedua orangtua akan keberhasilan hidupnya, seakan yakin dengan tarbiyah yang diberikan, sang anakpun tumbuh tanpa keadaan was-was walinya walaupun dia berada diluar jangkauan mereka karena sebaik-baik bekal adalah tarbiyah semenjak dini.
Dilihat dari ungkapan “waktu bagaikan pedang”, dengan pentingnya tarbiyah maka sangat mungkin jika anak disamakan dengan waktu dan munculah ungkapan “anak bagaikan pedang” yang mungkin memiliki makna lebih kuat dan dalam ketimbang waktu. Bagaimana mungkin?. Sangat mungkin, waktu bagai pedang karena jika dipergunakan dan dimanfaatkan sebaik-baiknya  maka dia layaknya pedang yang sanggup menusuk lawan-lawannya.  Tapi, juga sebaliknya, jika tidak diasah dan dipergunakan dengan baik maka  pedang itu sendiri yang menghantamnya. Begitulah anak jika diasah terus menerus dengan kebaikan maka menjadi orang hebat sudah bukan khayalan tapi jika tarbiyah tidak diterapkan sejak dini, siapa yang tahu kalau justru anak menjadi pedang yang berbahaya bagi sekeliling padahal yang diharapkan agar menjadi tameng pelindung. Dan inilah kesalahan fatal dari awal yang berakibat di masa mendatang.  Bukan pembela tapi penghancur. Maka barang siapa meninggalkan tarbiyah untuk anaknya sejak dini, sejak dini pula anak itu mendapat kesulitan untuk masa depannya.
Orang tua mana yang tidak menginginkan anaknya sukses, baik akhlaknya, luas wawasannya, rajin ibadahnya, indah perangainya, menikah dengan wanita sholehah, sampai memiliki momongan yang sholeh juga. Sungguh idaman bagi setiap orang tua di alam ini, sehingga segala cara mereka lakukan untuk mencapai itu. Karena anak adalah nikmat bagi orang tua, dan itu tercapai jika semua yang diharapkannya tercapai. Dengan berbagai cara yang ditempuh tak sedikit mereka (orang tua) yang merasa gagal mendidik anaknya sejak kecil dan itu dirasakan setelah melihat sang titipan dari Allah sudah mulai tumbuh besar dan belum menunjukan kebaikan-kebaikan yang diharapkan orang tua bahkan agama, maka saat itulah anak menjadi ujian bagi mereka. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan tujuan pendidikan semenjak dini terhadap amanat Allah ini, tapi cara yang dilakukan oleh kedua pengemban amanat belum tepat dan bukan berarti tarbiyah islami yang tak sanggup mencapai itu tapi proses yang tak sesuai.
Salah satu hal yang tepat bagi orang tua mendidik amanah ini adalah tarbiyah gradual  atau dalam istilah syariah dengan cara tadaruj atau bertahap. Trik ini sering kali diterapkan di beberapa subjek dalam penerapan hal-hal baru, tentu tujuan utama dari ini adalah memperkenalkan dengan tenang dan sedikit demi sedikit subjek masuk terhadap objeknya dan hasilnya sangat tepat, bisa dicontoh bagaimana Allah melalui Nabi Muhammad mengharamkan khamr pada umatnya, bukan sekaligus mengharamkannya karena Dia maha  tahu dengan manusia jahiliyah dulu jika harus meninggalkan khamr dalam kurun waktu yang cepat, maka diharamkanlah dengan tadaruj. Pertama masih dibolehkan meminumnya, lalu turun ayat selanjutnya yang menerangkan bahwa didalamnya ada manfaat dan madharat, tapi juga masih belum diharamkan seluruhnya walau sebagian mereka meninggalkannya. Dan berikutnya tahap ketiga, karena banyak yang sholat dalam keadaan mabuk, turunlah ayat agar jangan mabuk ketika akan mendirikan shalat, tapi mereka masih meminumnya yaitu setelah isya dan tahap keempat Allah turunkan ayat yang mengharamkan meminum khamr seluruhnya. Kita amati bagimana Allah yang maha kuasa atas segala sesuatupun menetapkan tahrim khamr dengan tadaruj dan itu lebih diterima bagi masyarakat jahiliyah dulu. Dan bukankah dalam tarbiyah terhadap anakpun merupakan penetapan dan penerapan segala  hal baik sehingga terbiasa untuk masa depan dia, maka tidak salah bagi orang tua jika mendidik sang buah hati dengan tahap per tahap, sampai dia tak menolaknya dan merasa nyaman dengan apa yang diterapkan oleh sang pendidik dan penerimaan seperti itu akan lebih lama melekat, bahkan tidak akan hilang dan lupa untuk berprilaku baik dan berakhlak karimah jika penerapan terhadap sang anak dari kecil dengan gradual.
Tarbiyah gradual memang langkah awal dari penerapan tarbiyah pada amanat ini, tapi ada yang lebih awal dari ini, yang mungkin lebih sulit, adalah dimulai dari masa-masa mencari pasangan. Menyukai lawan jenis itu fitrah manusia,  tapi untuk menjadikannya istri tentu harus memenuhi kriteria-kriteria sebagaimana islam menganjurkannya, seperi dalam hadist Rasul  tentang bagaimana ikhwan memilih akhwat untuk dijadikannya istri “ menikahi perempuan karena 4 : karena hartanya, karena  keturunannya, karena kecantikannya, karena agamanya, maka pilihlah karena agamanya maka kau  akan beruntung”.  jelas bagi kita bahwa sebaik-baik  istri adalah dilihat dari agamanya, lagi-lagi  islam yang syamil nan sempurna memberikan petunjuk pada penganutnya hingga hal menikah. Dalam hadits dikatakan yang paling terpenting dalam mencari istri adalah agama. mengapa agama? karena orang tua akan mentarbiyah anak dengan agamanya, jika dia muslimah maka tarbiyah islam yang disampaikannya, jika non muslimah maka pendidikan sejemis mereka pula yang diterapkannya, seorang filosof yunani Aristoteles pernah mengatakan “mendidik anak tanpa agama yang benar, sama dengan menciptakan setan yang sangat jenius”. Oleh karena itu carilah istri bukan hanya perempuan biasa tapi sebagai ibu dari anak. Karena kedekatan ibu dengan anak sangat tak berjarak dan kedekatan itu kesempatan dimana tarbiyah islamiyah diterapkan pada buah  hati tercinta. Mencari istri mudah, tapi mencari ibu bagi anak-anak tak semudah itu. Karena hal berharga akan sangat mahal didapatkan.
Sungguh, betapa tenangnya hidup jika anak sudah terdidik dengan tarbiyah islam yang baik, bersama dengan istri sholehah yang membimbingnya, tapi dengan cara tadaruj atau gradual dan mencari ibu untuk buah hati bukan berarti sepagi itu kita mengira bahwa sang anak terdidik dengan baik, tak semudah mengupas jeruk dengan tangan atau semangka dengan pisau bahkan akan sesulit mengupas durian walaupun bentuknya kecil. Itulah nyatanya yang terjadi, walau dua sejoli terdidik dengan tarbiyah sejak lama tidak menjanjikan bagi sang anak mengikuti jejak leluhurnya karena keimanan dalam islam bukanlah warisan. Maka disinilah sang anak menjadi ujian harian bagi kedua orang tuanya. Tentu kekompokan dan kedekatan serta cara dalam mendidik menjadi penentu yang sangat besar tarbiyah si anak.
Anak berbuat salah sangat harus dimaklumi bagi para pendidik, namun cara mengobati hingga sampai tidak mengulanginya lagi menjadi PR yang begitu berat, karena dari sinilah kesalahan-kesalahn kecil muncul yang berakibat fatal bagi tarbiyah anak dan ujung-ujungnya berhubungan dengan sikap si anak di masa nanti. Dimulai menghargai pribadinya dan menegur perilakunya, omelan dan pujian, paksaan dan kelembutan sangat perlu diperhatikan. Coba kita perhatikan keadaan yang sering terjadi ; ketika sedang disayang-sayang dengan menyuapinya dan ternyata dia malah susah untuk makan, satu suappun tidak, tentu sang ibu khawatir dengan keadaan anak bila terus seperti ini, tapi kebanyakan mereka malah memarahinya padahal tidak setiap anak jika dimarahin langsung menurutinya, yang ada dia semakiin menolak dan akhirnya makanpun tidak masuk lagi, padahal ibu tahu anak lapar, tapi tetap cara itu dilakukan. Seperti itulah kekuatan sayang yang tetap tidak tersampaikan jika cara yang diterapkan tidak sehati dengan si anak dan masih banyak lagi kejadian-kejadian dimana rasa sayang yang kuat dari orang tua tidak membantu tarbiyah terhadap anak jika cara tidak sesuai pula dengan sang anak.
Mengingat rumus “semakin banyak dapat perhatian dari orang sekitar kian besar pula keinginan untuk terus memperolehnya”. Dari rumus diatas  maka munculah kemungkinan perhatian perilaku negative dan perilaku positif, dengan begitu yang diharuskan bagi orang tua adalah selalu memperhatikan sang anak agar dia kecanduan atas apa yang dilakukannya saat mendapat perhatian tersebut. Tentu ini tidak secepat itu, dengan maksud perhatikan dan hargai sifat-sifat sang anak saat berperilaku positif dan jangan hanya menilai dan memperhatikan mereka  saat dia melakukan kesalahan. Sehingga jika merujuk pada rumus itu, ketika sang anak hanya diperhatikan saat melakukan kesalahan justru ia berkemungkinan besar melakukannya kembali karena dia selalu mengingat dan ingin terus memperoleh saat-saat ia diperhatikan. Semua ini bukan berarti membiarkan sikap negative dari anak yang harus diperbaiki dan diterapkan kebiasaan islamiyah sejak dini. Tapi ini berarti sangat luas bagi orang tua agar hanya menegur anak dari perilakunya dan menghargai pribadinya.
Dan ini yang sering terjadi di zaman sekarang terkadang orang tua terlalu condong terhadap sikap positif anak dan melupakan sikap negative atau bahkan sebaliknya, tapi yang condong terhadap sikap negative itu lebih banyak terjadi, dalam Quantum Learning oleh bobby poster perbandingannya 460 orang komen dengan sikap negative anak sedangkan hanya 75 orang yang komen terhadap sikap positif anak. (cara mendidik anak dengan cinta, Irawati Istadi). Masih dalam bukunya, ketika fokus orang tua terhadap sisi negative dan saat itu pula akan melupakan keluhan-keluhan sang anak.menurut irawati I “mendengar keluhan anak adalah bagian terpenting sehingga terhindar kesalahpahaman antara dua pihak”. Maka perhatikanlah anak dari semua sisi untuk menuju keluarga islam yang hakiki.
Dan setelah berbagai cara, ada satu perilaku pendidik yang tidak bisa dihindarkan, bahkan  sering dilakukan tapi banyak yang tidak menyadari itu, adalah mendidik dengan targib (kecintaan) dan tarhib (ancaman) bagi sang anak. Bagi umi dan abi cara ini harus dimiliki keduanya tapi bukan semudah itu, karena yang menyulitkan adalah penyeimbangan keduanya ketika diberikan pada sang anak. Terkadang sang anak diberikan targib dan tentu memberi efek yang sangat cepat dan sikap baik terhadap anak akan mudah diterapkan, contoh : anak tidak mau sekolah, lalu ibu mengajaknya dengan targib ‘yu sekolah nak, ntar kan disana kita beli wafer’ maka seketika itu pula dia menurut dengan ibunya. Begitu juga sebaliknya, ketika didiknya dengan tarhib anak bisa cepat merespon. contoh : ketika anak menangis, dan tidak berhenti, lalu ibu mendidik dengan tarhib ‘cepet nak, kalo nangis terus ibu ga bakal beliin balon lagi’ maka sang anak berhenti menangis karena ibu menjanjikannya dengan tarhib. Tapi keseimbangan targib dan tarhib benar-benar harus dijaga, karena jika tidak efeknya akan fatal bagi si anak, dalam buku mendidik anak laki-laki, karya Adnan Hasan Shalih Baharits, dijelaskan bahwa jika kedua orang tua mendidik anak hanya dengan targib saja maka yang terjadi adalah harapan yang berlebihan, karena kebiasaan ibu atau ayah selalu memberi harapan terus menerus membuatnya terasa ada harapan lagi untuk seterusnya dan sebaliknya jika targib saja maka akan selalu merasakan ketakutan, karena terus menerus diancam dalam melakukan sesuatu, diapun ketakutan walau ancaman belum datang.
Jadi patut sekali targib dan tarhib diseimbangkan saat orang tua menyikapinya anak-anaknya, mungkin orang tua sudah merasa telah melakukannya seseimbang mungkin tapi kedua sikap ini tidak bersifat zahar sehingga tidak semudah itu bisa memperkirakannya, sehingga skill perkiraan orang tua harus benar-benar kuat, walaupun perbandingan itu tidak terlihat kedua orang tua bisa memperkirakan keeimbangan itu meski tidak sampai 50%-50% setidaknya bisa sampai mendekati itu. Dengan begitu apapun perintah menuju kebaikan sang anakpun tidak merasa terancam atau tidak berleha-leha, tarbiyah islamiyahpun tercapai.
Penulis sangat berharap kepada semua orang tua agar bisa menerapkan tarbiyah kepada anak semenjak dini, itu semua demi terwujudnya keluarga islami, karena keluarga islami bukan hanya ayah dan ibu yang terbimbing tarbiyah sejak lama tapi anak menyempurnakan keluarga islami, maka penerapan tarbiyah dengan kasih sayang sangat dibutuhkan, dan untuk mencapainya tidak hanya kasih sayang semata tapi cara bagaimana menerapkan dan membiasakan bagi si anak justru lebih berpengaruh besar. Semoga bagi orang tua bisa mengkolaborasikan kasih sayangnya dengan bagaimana cara mendidik anak sejak dini dengan islami, sehingga terwujudlah keluarga islami yang dinanti.

Nama Lengkap : Azhar Fakhru Rijal
Nama Akun FB : Azhar Fakhru Rijal (rijalazhar@yahoo.co.id)
TTL                 : Tasikmalaya, 05 Agustus 1995
Pekerjaan         : Mahasiswa
Kampus, jurusan/sekolah : Annuaimy, Syariah
Alamat Lengkap : jl. Seha 2 no. 1 Grogol Selatan, Kebayoran        Lama, Jakarta Selatam
Nomor HP       : 085795264783/092119010203

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yahya Sinwar dan Naluri Kepahlawanan Ja’far bin Abi Thalib

  Ja’far bin Abi Thalib turun ke medan perang dengan keberanian, meski ada pesan tak biasa dari Nabi Muhammad bagi pasukan Mu’tah. Zaid bin Haritsah wafat, Ja’far langsung mengamankan panji Islam, tanda Islam tidak tunduk pada banyaknya pasukan Romawi. Tangan kanannya terputus, Ja’far hanya peduli pada panji Islam agar terus berkibar. Kibaran panji Islam bukan soal simbol belaka, ada kobaran semangat yang akan mendorong tiga ribu umat Islam yang berjibaku. Giliran tangan kiri Ja’far yang ditebas, sisa tangannya bersusah payah menarik kembali panji Islam agar tetap berkibar. Ja’far wafat dalam kondisi yang mengenaskan, panji dilanjutkan oleh Ibnu Rawahah dan berujung kematian juga untu dirinya. Khalid bin Walid hadir memberi angina segar dan mampu mengusir ratusan ribu pasukan romawi dari Mu’tah. Ja’far merupakan sahabat yang memiliki kapasitas kelas kakap, kemampuan bernegosiasi di hadapan Raja Najasyi berhasil mengamankan puluhan umat Islam di Ethiopia. Saat berduel dengan ped...

Jaminan Dewasa bukan Usia

Masalah dewasa selalu menjadi persoalan di tengah kebingungan orang menentukan standar apa yang harus dipahami. Soal standar dewasa ini memang sangat relatif. Sulit mencari sudut pandang yang objektif, sebab ukuran dewasa seseorang sangat banyak pertimbangannya. Melihat dari sudut satu tidak menutup perbedaan yang terbentang dari sudut pandang satunya. Belum lagi dilihat dari banyak ilmu yang berbicara tentang seperti apa dewasa sebenarnya. Bahkan saat kita mengatakan “masyarakat indonesia belum terlalu dewasa menyikapi masalah” , justru pernyataan itu akan berbalik. Dewasa kah orang yang mengatakan masyarakat belum dewasa? Dalam mata hukum misalnya, secara umum  batas usia seorang dewasa adalah 21 tahun. Tapi dalam undang-undang lainnya menentukan batas usia yang berbeda dalam memandang kedewasaan. Menurut sebagian ahli menyebut batas awal dewasa adalah usia 18 tahun. Sedangkan hukum Islam menyebut seorang baligh adalah dengan ihtilam, tumbuhnya rambut kemaluan dan usia t...

Perempuan Menutup Aurat atau Lelaki Menahan Nafsu?

Polemik patriarki selalu jadi tema pembahasan para feminism. Ada sudut pandang lain yang menurut mereka lelaki terlalu spesial dari perempuan.  Salah satunya soal perintah perempuan harus menutup aurat, lalu dihubungkan dengan soal tindakan kriminal, pemerkosaan dan menjaga kehormatan. Feminism melihat bukan soal perempuan yang harus menutup aurat, tapi lelakilah yang harus menahan nafsu. Dari sinilah perseteruan dimulai! Menurut saya, tidak ada polemik yang perlu diperpanjang, entah siapa yang memulai, tapi pembahasan ini seharusnya selesai sejak kedua titah itu dituliskan. Jika dilanjutkan, akhirnya muncul ribuan pertanyaan. Kenapa perempuan harus bertanggung jawab atas nafsu lelaki? Kenapa perempuan yang harus jaga diri dari lelaki, bukan sebaliknya? Dari pihak lain akan bertanya juga dengan konteksnya.  Menutup aurat itu kewajiban bagi perempuan, begitu juga menahan nafsu wajib bagi lelaki. Ego masing-masing yang membuat perdebatan ini tidak ada endingnya. Ada satu perspek...